Denpasar, (Metrobali.com)

Catatan untuk ambisi besar Kabinet Merah Putih untuk Swasembada Pangan dan Energi 4 – 5 tahun yang akan datang. Ambisi besar yang patut diapresiasi, tetapi jangan sampai mengulang kegagalan pemerintah sebelumnya, dengan janji swasembada pangan dan energi, tetapi faktanya kita semakin tergantung pada impor pangan dan energi.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan, Kamis 24 Oktober 2024.

Dikatakan, Impor pangan Indonesia tinggi, Gandum 9 juta ton per tahun, Beras tahun ini diperkirakan 5 juta ton, Kedele sekitar 3,5 juta ton.

” Ketergantungan pada susu sekitar 80 persen untuk kebutuhan nasional. Belum lagi ketergantungan pada produk protein hewan yang juga tinggi,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, Indonesia telah lama menjadi “net importir” minyak mentah, 2 juta barel per hari. Ketergantungan akan impor minyak mentah terus meningkat dari tahun ke tahun.

“Namun, Pemerintahan sebelumnya telah gagal dalam proyek food estate, triliunan rupiah dana negara dikucurkan, tetapi produksi pangannya nyaris tidak ada,” katanya.

Dikatakan, impor minyak mentah 2 juta barel per hari, sangat memberatkan APBN, dan mengganggu pengembangan industri manufaktur, tetapi proyek eksplorasi minyak mentah di ladang Masela Riau yang dibatalkan off shore, membuat perusahaan raksasa minyak dunia dari AS menarik investasinya untuk kegiatan eksplorasi di Indonesia.

“Sudah semestinya pemerintahan baru ini, lebih realistis menyusun targetnya, dengan keterbatasan APBN, dan dalam kondisi kabinet “jumbo” yang baru dalam tahap “uji coba” 100 hari,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, PR buat menteri Ekuin di pemerintahan Presiden Prabowo untuk melakukan koreksi UU Cipta Kerja klaster Pertanian, yang membuka kekuatan pasar global dalam perdagangan komoditas pangan. Untuk ambisi besar swasembada pangan, UU Cipta Kerja tahun 2020 semestinya dikaji ulang.

” Proyek 2,2 juta ha di Kabupaten Merauke dari pemerintahan sebelumnya, untuk rencana swasembada beras dan gula, yang masih dalam rintisan, semestinya dikaji ulang,” kata I Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan.
(Sutiawan)