Ilustrasi

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Kinerja ekonomi Presiden Jokowidodo kyang buruk dan meninggalkan bom waktu. Bom waktu: hutang, penurunan daya beli, ketimpangan pendapatan, ekspor komoditas primer yang merusak lingkungan dan “multiplier effectnya” rendah.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan, Jumat 19 Oktober 2024, menyikapi ekonomi menjelang lengser presiden Jokowidodo.

Dikatakan, industri dalam negeri yang sangat tergantung kepada bahan baku dan barang modal yang diimpor. Contohnya, industri farmasi, 75 persen tergantung pada impor dari China dan India.

“Industri tekstil yang terlambat melakukan modernisasi, terancam mengalami pemutusan hubungan kerja, untuk tahun 2024 berjumlah belasan ribu tenaga kerja,” katanya.

Dikatakan, suku bunga perbankan tinggi, sehingga UMKM pada umumnya terlalu berat membayar bunga, para eksportir sulit bersaing. Ekonomi biaya tinggi, akibat: korupsi dan biaya birokrasi yang mahal.

Menurutnya, korupsi dan mahalnya biaya birokrasi, membuat investasi terhambat, investasi dalam dan luar negeri. Dana perbankan dalam negeri yang terbatas, dipergunakan untuk membeli Surat Hutang Negara, akibat pasokan dana bagi puluhan juta UMKM menjadi terbatas.

“Keistimewaan yang diberikan kepada sejumlah oligarki, mengakibatkan terjadinya “unfairness” dalam investasi, akibatnya investor enggan berinvestasi di dalam negeri. Tax ratio yang rendah 9 persen, diperkirakan banyak terjadi moral hazard dalam pemungutan pajak dan cukai, mempersempit ruang fiscal, membuat ketergantungan pemerintah pada hutang terus membesar,” kata I Gde Sudibya.

Dikatakan, pembangunan Infrastruktur besar-besaran dalam 10 tahun terakhir, tidak mendorong ekspor secara signifikan, terbukti dari ratio ekspor terhadap PDRB relatif stagnan.

Menurutnya, rasio kesempatan kerja terhadap investasi, 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menciptakan kesempatan kerja 400 ribu orang, 5 persen pertumbuhan hanya akan menghasilkan 2 juta kesempatan kerja, jauh lebih kecil dari jumlah tenaga kerja yang masuk pasar kerja.

“60 persen angkatan kerja ada di sektor informal: produktivitasnya rendah, tanpa perlindungan kerja, suramnya masa depan mereka,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan.

Seorang netizen menyebut, BI dan pemerintah selalu menepuk dada akan kehebatan mereka meningkatkan Cadangan devisa. Saya kritik. Mengapa?. Karena prestasi pemerintah selama 10 tahun meningkatkan Cadev hanya USD 37 miliar ( per oktober 2024) atau peningkatan 34% terhadap tahun 2014 awal Jokowi berkuasa. Sementara peningkatan tahun 2004-2014 sebesar USD 76 miliar. Secara presentase peningkatan era SBY sebesar 3,7 kali. SBY jelas lebih hebat.

Pemerintah selalu membanggakan bahwa neraca perdagangan surplus. Orang ramai bertepuk sorak. Tapi surplus itu tidak berpengaruh kuat terhadap fundamental ekonomi. APa pasal?. Bayangkan aja. Kontribusi ekspor Indonesia terhadap PDB hanya 21,75%. Bandingkanlah dengan Thailand 66,45%. Malaysia 68,42%. Vietnam 89,5%. Jadi secara regional kinerja ekspor kita memang terbelakang. Apalagi NPI jasa tidak pernah surplus.

Pemerintah yakin Indonesia punya prospek masa depan yang cerah secara ekonomi. Jauh lebih hebat dibandingkan negara lain yang growth nya jauh dibawah Indonesia. Tapi kalau anda lihat data utang luar negeri Indonesia per oktober USD 425 miliar.

Retorika cerah itu onani. Lihatlah data. Dari sejumlah utang luar negeri itu, sebesar USD 190,17 miliar dalam bentuk hot money (securities paper). Yang kapanpun bisa di call oleh lender. Coba kalau USD 50 miliar aja di call, kita buy back. Tumbang ekonomi kita. Rupiah bisa terjun bebas.

Mengapa ? Walau Cadev sebesar USD 150 miliar, namun dalam bentuk cash hanya dibawah USD 50 miliar. Jadi sebenarnya kita duduk diatas bomb waktu. Yang kapanpun bisa meledak.Makanya kurs rupiah volatile. Itu bukan karena factor eksternal saja. Tetapi memang fundamental kita lemah. Nah apa jadinya dengan masa depan?

Kedepan, kita menghadapi resiko eksternal akibat adanya konflik geopolitik regional. 2/3 ekonomi Dunia yang digerakkan AS dan China, Jepang, Eropa slow down. Itu akan berdampak berkurangnya permintaan ekpor komoditas utama kita. Tentu akan memperbesar NPI kita.

PHK akan terus berlanjut. Daya beli domestic akan terus melemah. Kalau kebijakan lama terus berlanjut. Paling lama 7 bulan lagi ekonomi kita chaos. Recovery nya akan lama sekali. (Sutiawan).