Ilustrasi

Kamis, 17 Oktober 2024, raina Purnama Kapat Icaka 1946, banyak piodalan berlangsung di seantero Bali, termasuk di sejumlah Pura Kahyangan jagat. Puja wali ring Linggih Padma Tiga, Penataran Agung Besakih, “nyejer tigang raina, Ida Bhatara “mesineb” 20 Oktober 2024.

Dalam pemahaman teologi sederhana, sebut saja pendekatan deduktif dalam mendekati pemahaman akan Tuhan, Padma Tiga, merupakan simbolik Tri Purusa: Parama Ciwa, Sadha Ciwa dan Ciwa. Parama Ciwa yang “diturunkan sebagai Sadha Ciwa, “Pasuh Pati Raja” Tuhan yang memberikan “izin” manusia untuk melewati “pembasuhan” kematian, baca Moksha. Tuhan Ciwa, dengan kekuatannya di 8 penjuru Angin, dengan “pusatnya” di tengah, dalam Aksara suci: SA BA TA H I NA MA SI WA YA.

Tuhan yang diyakini “wyapi-wyapaka”, yang membuat; Manusia, Alam dan relasinya terserap oleh Nya, menjadi bersih, hening, suci, dalam gerak menuju asalnya -mulih ke Jati mula-. Tetapi realitas kehidupan tidak semulyav itu, sarat jebakan: keakuan, kemasa-bodoan, keserakahan, bukti kegagalan manusia menjadi guru sejati buat diri dan hidupnya.
Di negeri ini, dalam kritik bernada satire: “Republik rasa kerajaan, dengan nepotisme dan oligarki sebagai ciri utamanya, libido kekuasaan yang berapi-api, dicoba dipendam dalam ungkapan: “malu-malu, tapi mau”. Hasilnya: penguasa yang tidak berempati pada rakyat, melanggar Dharmanya.

Sebagai bahan renungan, menyongsong puja wali ring Padma Tiga Besakih, pantas disimak kearifan kepemimpinan yang menggoreskan “tinta emas” dalam pembangunan dan kemudian merawat Bssakih.

Cri Kesari Warmadewa, raja penganut agama Budha (bagian dari kebesaran peradaban Sriwijaya) sebut saja “menelorkan” diktum kepemimpinan, “mereka yang menjadi pemimpin tidak menjalankan dharmanya, sama dengan pemimpin yang mati secara rokhani”. Pemimpin yang tidak berguna, kemudian menjadi beban sejarah berkepanjangan. Raja menerbitkan bhisama: dilarang menebang pohon lontar “ring sawewengkon alas Giri Toh Langkir”. Bhisama bersayap kaya makna, sekaligus merefleksikan bobot spiritual sang raja.

Ida Dalem Waturenggong, raja cerdas nan bijak cum visioner, karena vivekanya, Bali tidak tenggelam dalam “wolak-wakikin zaman”, yang telah menimpa kerajaan Majapahit sebelumnya. Tanpa Ida Dalem, peradaban dan kebudayaan Bali yang ada sekarang telah lama punah.

Raja yang menata Besakih sangat ideal, Catur Lawa dalam perspektif sejarah, Catur Loka Pala dalam perspektif teologi.
Raja yang begitu rendah hati, rakyat menyaksikannya dalam tirtha yatra ke Batur yang secara rutin dilakukan. Raja yang sangat peduli dengan rakyatnya yang tidak berpunya. Dalam satu catatan kerajaan tertulis, Gelgel mengalami kegemparan, karena di pasar ditemukan seorang pencopet yang membuat masgul Raja, karena kebijakannya telah menyisakan satu orang miskin dan kemudian mencopet di pasar Gelgel. Gelgel adalah pusat kerajaan. Perbekel Desa, asal orang ybs.menghadap Raja dan mengundurkan diri. Moral cerita yang patut disimak oleh kita bersama, terutama tuan dan puan penguasa Bali.

Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, pembelajar kebudayaan Bali.