Ilustrasi

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Gede Pasek Suardika (GPS) dalam tulisannya menyebutkan kini pasca Bendesa Adat Berawa Canggu masuk sel, Saya mendapatkan informasi makin bebas dan liar dentuman musik dan semaraknya mercon dan kembang api di club house yang ada disana.

Canggu, khususnya Berawa sudah tidak ada lagi yang tokoh adatnya berani datang menegur dan lainnya. Durasinya pun jika dulu diatur jam tertentu dengan besaran volume tertentu maka kini sudah kuat kuatan besaran suaranya dan kembang api bisa dilakukan setiap saat tanpa batasan waktu.

Mereka tidak lagi minta ijin Desa Adat dan konon langsung pegang rekomendasi ijin dari aparat. Maka warga asli hanya bisa mengelus dada karena jika berani melawan risiko jebakan ataupun yang lainnya mengancam mereka. Beberapa penghuni villa sudah juga bergeser akibat kebisingan tanpa kontrol lagi.

Cuan berkuasa, maka prosesi atau upacara Adat harus menyesuaikan. Bayangkan kalau Sulinggihnya mengidap jantung saat muput begitu.

Makin membenarkan anggapan banyak orang, sejatinya pariwisata kita sudah autopilot karena penguasa hanya fokus pada penerimaan Pajak Hotel dan Restaurant (PHR) untuk hasilnya dibagi bagi sebagai mahakarya politik. Sementara pariwisatanya berjalan dengan sendirinya tanpa jelas siapa yang memegang kendali mengaturnya.

Jika kini yang begini viral ya semua hanya bisa menyaksikan saja dan sebagian berusaha mencari pembenar atas peristiwa seperti ini. Yang penting cuan masuk, kesakralan kekhusukan nomer dua. Bukankah Tuhan Maha Pemaaf dan Pemurah.

Menurut Jro Gde Sudibya, salah seorang pendiri, sekretaris LSM Kuturan Dharma Budaya ulasan Gede Pasek Suardika (GPS) di atas tepat, berkaitan dengan “drama” penangkapan Desa Adat Berawa.

“Tetap berangkat dari asas praduga tidak bersalah, semestinya pengurus adat Berawa, MDA Kecamatan Canggu dan MDA Kabupaten Badung memberikan dukungan moral terhadap Desa Adat sebagai lembaga,” katanya.

Dikatakan, bukan berbalik badan, dan meninggalkan Jro Bendesa sendirian. Tampaknya, mereka “termakan” oleh pembentukan opini yang mengorbankan Jro Bendesa. Relasi kuasa untuk menekan Bendesa terlalu tampak. GPS sebagai “dewa penolong” dan pengacaranya tentu lebih mengerti duduk masalahnya.

Dikatakan, konsekuensi dari butir satu di atas, timbul persepsi, persepsi yang sengaja diciptakan, lembaga Desa Adat berhasil ditundukkan.

“Implikasi sosialnya di lapangan, sebagai disampaikan oleh GPS, tidak ada lagi ada kuasa adat untuk melakukan penertiban, terhadap pelanggaran yang telah bertentangan dengan “Drestha, manut Desa Kala, Patra ring sawewengkon Brawa lan Canggu”,” katanya.

Konsekuensinya, lanjut I Gde Sudibya, krama Adat semakin terasing dengan “natah”nya sendiri, mengalami aleniasi, biaya sosial yang harus ditanggung krama.

Kondisi ini, kata Jro Gde Sudibya semestinya diantisipasi oleh Pemda Badung, MDA Badung dan PHDI Badung, risiko perlawanan krama yang rasa keadilan adanya ternodai, dalam masyarakat Bali yang punya tradisi “keras” dari kekuatan membumi Bhairawa Paksa. (Sutiawan)