Denpasar, (Metrobali.com)

Salah satu permasalahan pembangunan yang kini dialami Bali adalah pencemaran udara yang dihasilkan dari kegiatan manusia yang masuk dan atau dimasukkan ke udara yang disebut dengan emisi karbon. Emisi tersebut berupa gas karbondioksida (CO2), belerang dioksida (S02), nitrogen monoksida (NO), metana (CH4), dan khlorofluorocarbon (CFC) yang berasal dari aktivitas transportasi, sumber energi listrik, pertanian, perikanan, kelautan, serta limbah.

Kepala Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan Bappeda Provinsi Bali I Ketut Gede Arnawa mengemukakan, berdasarkan laporan Penyelenggara Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) tahun 2022, tingkat emisi GRK (gas rumah kaca) di Bali sudah mencapai angka 12.089,85 Gg CO2e (giga gram setara CO2). Sektor energi merupakan sektor yang berkontribusi terbesar sebesar 8.205,87 Gg CO2e atau 67,87 %, disusul sektor limbah sebesar 3,872,41 Gg CO2e atau 32,03 %, dan sektor pertanian sebesar 1.171,68 Gg CO2e atau 9,68 %.

“Dampak yang paling dirasakan dari emisi GRK ini adalah terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim yang ditandai dengan munculnya bencana alam seperti banjir, angin topan, cuaca ekstrem dan peristiwa lainnya,” kata Ketut Arnawa saat membuka diskusi Pembahasan Baseline dan Proyeksi Target Penurunan Intensitas Emisi GRK dan Penurunan Emisi GRK Provinsi Bali yang dilaksanakan di Ruang Rapat Cempaka Bappeda Provinsi Bali, di Denpasar, Selasa, 15 Oktober 2024.

Akibat lebih lanjut dari pemanasan global ini, kata Arnawa, berupa kerugian ekonomi yang sangat besar karena biaya yang dikeluarkan untuk penanganan dampak perubahan iklim tersebut akan menurunkan capaian pertumbuhan ekonomi Negara dan daerah di masa depan. Penurunan disebabkan oleh karena gangguan bencana alam dan produktivitas tenaga kerja sebagai akibat penyakit dampak perubahan iklim.

Sehubungan dengan hal tersebut, Arnawa mengemukakan, Pemerintah Provinsi Bali atas arahan Kementerian PPN/Bappenas, telah menyusun dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Bali Tahun 2025-2045 dan mengajak semua pemangku kepentingan untuk mengantisipasinya dengan menargetkan penurunan emisi GRK menuju net zero emission pada tahun 2045, yaitu kondisi dimana  emisi karbon yang dihasilkan di seluruh Bali tidak melebihi kapasitas penyerapan bumi Bali.

Target penurunan emisi GRK yang ditetapkan dalam dokumen RPJPD Bali 2025-2045 terdiri dari dua katagori, yakni penurunan intensitas emisi GRK dan penurunan persentase emisi GRK. Penurunan intensitas emisi GRK ditargetkan sebesar 5,36% untuk tahun dasar perhitungan 2025 dan sebesar 89,38% untuk tahun dasar perhitungan 2045. Penurunan intensitas GRK ini adalah penurunan besaran emisi GRK yang dilepaskan ke atmosfer per satuan aktivitas tertentu. ”Artinya, Bali sudah menargetkan adanya penurunan besaran emisi yang dilepaskan sektor energi misalnya, dari saat ini sebesar 12.089,85 GgCO2e menjadi 1.283,94 GgCO2e saja,” terang Arnawa.

Sementara untuk penurunan persentase emisi GRK  yang ditargetkan dalam RPJPD Provinsi Bali Tahun 2025-2045 terdiri dari penurunan persentase komulatif sebesar 7,18% untuk tahun dasar perhitungan 2025 dan 31,71% untuk tahun dasar perhitungan 2045. Untuk penurunan persentase tahunan ditargetkan sebesar 13,2% untuk tahun 2025 dan 71,08 untuk tahun 2045.

Jika diperhatikan dari angka yang ditetapkan sebagai target, tampak bahwa target yang ingin dicapai tidak besar. Namun, bagaimana cara mengitung dan bagaimana strategi serta batasan kewenangan antartingkatan pemerintahan daerah untuk merealisasikan target ini memerlukan pemahaman yang sama dari seluruh pemangku kepentingan di tingkat provinsi. Atas dasar pemikiran itulah diskusi ini dilaksanakan oleh Bappeda Provinsi Bali dengan tujuan utama untuk membangun kesamaan persepsi dan mencari masukan merealisasikannya.

Diskusi ini berhasil mendapatkan sejumlah masukan berharga dari Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, akademisi, sektor pertanian, sektor kelautan dan perikanan, sektor perhubungan, sektor swasta, sektor energi, pariwisata dan koalisi peduli penurunan emisi GRK Bali. Masukan yang disampaikan meliputi batasan kewenangan penanganan urusan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, kebijakan berkenaan dengan penurunan emisi GRK, inventarisasi, pendataan dan pelaporan melalui aplikasi AKSARA Bappenas dan aspek sumber daya manusia yang menangani masalah emisi GRK di daerah. (RED–MB)