Denpasar, (Metrobali.com)

 

Jika dilakukan kilas balik terhadap pemerintahan JW, masih segar dalam ingatan publik akan kampanye ybs.di tahun 2014, yang secara menggebu-gebu memberikan janji “surga” untuk swasembada pangan.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan, Selasa 15 Oktober 2024.

Dikatakan, janji kampanye, swasembada mulai dari produksi Beras, Kedelai, Gula, Bawang dan sejenisnya, sampai ke komoditas ternak.

Menurutnya, di tahun-tahun pertama pemerintahannya, wacana ketahanan pangan digemakan, tampak di tingkat permukaan ada upaya membayar janji kampanye tsb.

“Tetapi janji ini terus memudar, terlebih-lebih di tahun ke dua pemerintahannya. Isunya, nyaris “ditenggelamkan” oleh ambisi besar proyek infrastruktur, yang telah melahirkan utang sekitar Rp.4,000 T selama pemerintahannya, belum termasuk tambahan utang BUMN yang mendapat penunjukan dalam menangani proyek infrastruktur tsb,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, di masa akhir pemerintahannya, profil ekonomi pangan nasional nyaris tidak berubah, kalau tidak mau dikatakan semakin memburuk. menyebut saja beberapa fakta, pertama, impor beras yang membengkak, diperkirakan tahun ini sekitar 5 juta ton.

Dikatakan, harga beras naik tinggi, sekitar Rp.15 ribu/kg, yang menggerus daya beli dan standar kehidupan masyarakat menengah ke bawah. Pasca pandemi, terjadi kelangkaan pupuk bersubsidi di mana-mana yang semakin menekan produksi beras.

Kedua, impor kedele per tahun tetap bertengger sekitar 3,5 juta ton, bahan baku tempe tahu yang menjadi kebutuhan pokok massa rakyat. Produksi dalam negeri bertengger di tingkat 500 ribu ton per tahun. Demikian juga impor bawang dan sejenisnya, serta komoditas pangan lainnya.

Ketiga, impor gandum, tetap “bertengger” tinggi, sekitar 9 juta ton per tahun, negara importir gandum terbesar di dunia. Tidak ada upaya serius dalam melakukan diversifikasi pangan, sebut saja dalam produksi Sagu, yang lahannya amat luas di Papua.

Keempat, program “food estate”yang gagal total, telah merusak lingkungan, menyerap dana negara sangat besar, nyaris tanpa hasil.

Kelima, deflasi dalam 5 bulan terakhir, menguak fakta, penurunan harga pada komoditas pangan, karena turunnya daya beli masyarakat secara umum, membuat petani produsen pangan menderita karena turunnya pendapatan mereka.

Penurunan pendapatan pada sebagian besar masyarakat, mereka mulai “mantab”, “makan” tabungan, berbarengan dengan kebijakan fiscal yang “membagi buta”, dengan menaikkan PPN dari 11 persen ke 12 persen.

Keenam, program subsidi pupuk, pasca pandemi antara ada dan tidak ada, karena dana APBN terkuras untuk “proyek” perlindungan sosial. Tahun 2024 sekitar Rp.500 T, dijadikan alat politik kampanye, bentuk banal dari korupsi politik.

Ketujuh, UU Cipta Kerja tahun 2020 klaster pertanian, membuka lebar bagi liberalisasi perdagangan komoditas pangan, yang membiarkan program ketahanan pangan nasional tergantung pada impor, di tengah pasar pangan global yang rentan. fragile, penuh ketidak-pastian.

“Ketujuh indikasi tersebut merupakan Rapor merah pemerintahan Jokowi dalam program ketahanan pangan nasional,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan. (Sutiawan).