Denpasar (Metrobali.com)-

Stament Jusuf Kalla (JK) bahwa profil Ekonomi di Era Jokowi Berbasis Dokumen, Kontradiktif dengan Realitasnya dapat diberikan catatan.

Menurut I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan bahwa, pertumbuhan ekonomi 5 persen berbasis dokumen BPS, tetapi realitanya bisa tidak seperti itu.

“Karena publik tidak tahu, derajat kepercayaan (level of confidence) dari pengambilan data sampel BPS. Berapa kuadrat eror (r2) dari sampel yang diambil. Mari kita berbaik sangka terhadap data BPS, pertumbuhan 5 persen, dengan kualitas yang buruk dari sisi pemerataan, tamsilnya: “orang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin”,” katanya, Minggu 13 Oktober 2024.

Dikatakan, buktinya, dalam 5 tahun terakhir, 10 juta kelompok kelas menengah turun jelas menjadi penduduk yang rentan miskin.

Dikatakan, angka ekspor yang tercatat dalam Neraca Perdagangan dan Neraca Pembayaran, belum tentu masuk dalam rekening bank di Indonesia. Bisa ditempatkan oleh pemiliknya di luar negeri, sehingga kemanfaatan ekonominya tidak dirasakan di dalam negeri.

“Multiplier effect” nya tidak terjadi di dalam negeri. Data ekspor yang penuh jebakan, demikian juga saldo cadangan devisa,” tandas I Gde Sudibya.

Dikatakan, pengukuran laju inflasi yang “sekali tiga uang”, berapa jumlah sampelnya dan derajat kesalahan dalam pengambilan sampel, untuk menjamin keakuratan dalam perhitungan laju inflasi. Menjadi malapetaka dalam pengumpulan data dan juga pengambil kebijakan, atas ucapan Mendagri di medsos, pimpinan daerah ada yang meminta Kantor BPS setempat untuk menyiapkan data sesuai selera dan kepentingan penguasa lokal. Bentuk dari praktek kecurangan statistik -statistik malpratice’.

“Diktum dalam kebijakan publik, data yang salah dan atau direkayasa akan melahirkan kebijakan yang salah pula Sungguh mengerikan dalam “public policy”,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan. (Sutiawan)