Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)

Kepemimpinan dalam sastra Hindu di Bali, kepemimpinan yang berdiri di Ibu Pertiwi, menatap ke depan, mengolah “Bayu, Sabda, Idep” dalam berelasi dengan partikel Alam Raya (Pertiwi, Apah, Bayu, Teja, Akasa).

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, intelektual Hindu, pengamat kebudayaan, Minggu 13 Oktober 2024.9

Dikatakan, Pemimpin cerdas bervisi ke depan, berbasis spiritualitas, berangkat dari sastra: “kepemimpinan kesempatan emas untuk membayar hutang karma kehidupan”.

“Kepemimpinan yang menatap ke atas langit rokhani, pada lapisan Sapta Loka, tetapi tetap menginjakkan kaki di Ibu pertiwi, mengolah “wiweka” untuk menjalankan Dharma kepemimpinan,” kata I Gde Sudibya.

Menurutnya, kepemimpinan model Jokowi, “menggaruk” pertiwi, memasuki alam sebut saja bagian dari Sapta Petala, memasuki “gorong-gorong” dengan motif utama pencitraan dan kemudian terbukti membangun dinasti politik dengan “menabrak” konstitusi dan “mengakali” aturan, bentuk anomali (kekacauan) kepemimpinan.

“Inilah sisi buruk (the dark side), dan titik-titik hitam (the dark numbers) dari bentangan sejarah kepemimpinan pasca Indonesia Merdeka,” kata Gde Sudibya, intelektual Hindu, pengamat kebudayaan.

Menurutnya, Sastra kepemimpinan kearifan lokal Bali sangat kaya, sehingga raja-raja di masa lalu, selalu dikenang dan menjadi “batu penjuru” bagi para pemimpin belakangan dalam menjalankan kepemimpinan.

Raja-raja Bali menyebut beberapa: Sri Kesari Warmadewa, Cri Aji Jayapangus. Udayana – Mahendradatta, Ida Dalem Waturenggong. Mereka telah menjadi mitos (dalam artian positif), masyarakat “menarik” inti sari kepemimpinan ini sebagai bagian realitas ke kinian kehidupan.

Tantangan besar bagi kepemimpinan sekarang yang a historis dengan keutamaan kepemimpinan di atas.
Untuk kembali ke jati diri kepemimpinan yang mengabdi kepada rakyat, tidak “sempoyongan” dengan keserakahan kekuasaan. (Sutiawan).