Denpasar (Metrobali.com)-

Jika dipergunakan pendekatan “helicopter ‘s view”, pendekatan sepintas dari kejauhan, hasil rekayasa pencitraan, di tingkat permukaan, tidak ada masalah dengan kinerja Presiden Jokowidodo.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, Kamis 10 Oktober 2024 menanggapi menjelang berakhirnya jabatan Jokowidodo sebagai Presiden.

Dikatakan, pencitraan tentang: sosok sederhana yang merakyat, slogan “Jokowi adalah kita”, pendekatan “gorong-gorong” untuk menciptakan empati dan peduli pada kepentingan rakyat, membuat banyak orang terkecoh.

Bahkan, tidak kurang dari majalah global mendunia TIME, menurunkan liputan khusus untuk Jokowi, dengan tajuk New Hope, pemimpin pembawa harapan baru.

Dikatakan, dengan menggunakan sebut saja pendekatan pohon (pendekatan lebih dekat, dengan menyimak kasus tali temalinya dan konsekuensinya), terutama dalam periode kedua pemerintahannya, “tipu muslihat” nya mulai menguak dan tampak, dan kegagalan kepemimpinannya menyeruak nyata.

Menyebut beberapa saja dari keputusan politik Presiden Jokowidodo yang buruk tersebut. Pertama, mengambil inisitiatif merevisi UU KPK dalam hitungan hari, melemahkan KPK, mengabaikan protes keras masyarakat, padahal janjinya saat kampanye akan memperkuat lembaga ini, dengan menaikkan anggarannya 10 kali lipat.

Kedua, menggolkan revisi UU Minerba, mengabaikan protes keras masyarakat, memberikan kesempatan kembali bagi pemegang HPH, HGU bagi belasan pengusaha, untuk menguasai kembali jutaan hektare hutan dengan jangka waktu 99 tahun, yang semestinya kembali ke negara.

Ketiga, di tengah ekonomi rakyat morat-marit akibat pandemi Covid – 19, Pemerintahan Jokowidodo ini menerbitkan tahun 2020 UU Cipta Kerja yang liberal kapitalistik pro investor, meminggirkan kaum buruh, merusak lingkungan.

Keempat, melakukan politik “cawe-cawe” yang mencapai puncaknya, dengan mencalonkan anaknya Gibran sebagai cawapres, yang menabrak konstitusi dan “dasa muka” penyalahgunaan kekuasaan.

Kelima, meminjam ungkapan akhli hukum pidana UI, Prof Harishtuti, “menggunakan hukum sebagai instrumen rekayasa sosial untuk memperpanjang kekuasaan dengan melanggar etika”.

Keenam, pengelolaan kawasan pertambangan yang buruk, lingkungan alam rusak parah, masyarakat adat terpinggirkan, tetapi para oligarki merupakan untung besar.

Ketujuh, kinerja ekonomi yang buruk, dalam 10 terakhir 10 juta kelas menengah “turun kelas”, 70 ribu tambahan pengangguran di sektor manufaktur terutama di industri tekstil, deflasi lima bulan berurutan, yang membuat semakin menderita petani kecil produsen pangan karena produknya mesti dijual lebih murah.

Kedelapan, dunia ketenaga-kerjaan yang semakin berat nyaris tanpa harapan, kecilnya kesempatan kerja baru, sehingga hampir 60 persen angkatan kerja yang berkerja di sektor informal, tanpa perlindungan sosial, sempitnya kesempatan berusaha, minimnya pendapatan, sekadar pelarian dari pengangguran terselubung. (Sutiawan).