Denpasar, (Metrobali.com)

Rabu, 9 Oktober 2024 WALHI Bali menghadiri konsultasi publik pemeriksaan Dokumen ANDAL RKL-RPL (Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan) terkait Pemanfaatan Sumber Pasir Laut untuk Proyek Konservasi Pantai di Pulau Bali oleh Badan Wilayah Sungai (BWS) Bali-Penida. Proyek ini merupakan proyek Bali Beach Concervation Project phase II yang akan melakukan penimbunan/pengisian pasir di sejumlah pantai di Bali. Pembahasan ini dilaksanakan di Ruang Rapat Danau Beratan kantor Balai Wilayah Sungai Bali-Penida, Jl. Kapten Tjok Agung Tresna No.9, Desa Sumerta Kelod, Denpasar Timur. WALHI hadir diwakili oleh Made Krisna Bokis Dinata, S.Pd., M.Pd. selaku Direktur Eksekutif WALHI Bali.

Dalam dokumen ANDAL RKL-RPL proyek ini, disebutkan jika pengambilan atau pengerukan pasir dilakukan di dua titik yakni di Perairan Jimbaran (Laut Bali) dengan volume 750.000 m3 dan Luas area pengambilan pasir laut seluas ±499,84 hektar dan di Perairan Tanjung Benoa (Selat Badung) dengan volume 500.000 m3 seluas ±250,11 hektar. Dalam temuannya, WALHI Bali menjelaskan jika 8 dari 13 Desa yang berada di area sekitar lokasi pengambilan sumber pasir laut pada perairan Jimbaran memiliki kategori kerentanan pesisir yang sangat tinggi. Sedangkan 5 dari 8 Desa yang berada di area sekitar lokasi pengambilan sumber pasir laut perairan Tanjung Benoa juga menunjukan hal yang sama yakni memiliki area dengan kategori kerentanan pesisir sangat tinggi. Belum lagi berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan jika wilayah pesisir desa/kelurahan tersebut terkonfirmasi memiliki bahaya, kerentanan, dan risiko tinggi terhadap Gelombang Ekstrim dan Abrasi. “Adanya aktivitas pengerukan atau pengambilan pasir laut pada wilayah perairan Jimbaran Dan Perairan Tanjung Benoa justru akan memperparah kondisi pesisir di Bali Selatan yang sudah rentan” pungkas Bokis.

Lebih lanjut Hasil telaah WALHI juga menunjukan bahwa aktivitas pengambilan atau pengerukan pasir laut yang merubah bentang alam bawah laut akan berdampak pada rusaknya biota dan ekosistem perairan di lokasi sekitar penambangan pasir laut. WALHI menyebutkan jika aktivitas pengambilan atau pengerukan pasir yang akan dilakukan pada Perairan Tanjung Benoa sangat berdempetan terhadap kawasan pencadangan konservasi di laut pada perairan Tanjung Benoa. Dalam dokumen ANDAL RKL-RPL ini dituliskan jika Lokasi pengambilan atau pengerukan pasir laut amat berdekatan dengan berbagai area sensitive seperti Terumbu Karang, Padang Lamun dan Terumbu Karang. Bahkan, dalam temuan WALHI, Lokasi pengambilan atau pengerukan pasir hanya berjarak 1,04 km dengan keberadaan Terumbu Karang. Dekatnya jarak antara aktivitas pengambilan atau pengerukan pasir dengan jarak sebaran Terumbu Karang yang hanya 1,04 km tentu akan berdampak terhadap kelestarian Terumbu Karang pada wilayah Perairan tersebut terlebih mengacu kepada dokumen ANDAL RKL-RPL disebutkan bahwa pengambilan atau pengerukan pasir laut akan menggunakan kapal (Trailer Suction Hopper Dredger) TSHD yangmana dalam sejumlah penelitian dikatakan jika penggunaan TSHD yang destruktif berpotensi memberikan dampak terhadap perairan di sekitarnya pada area kurang dari 3 km secara radius. “Aktivitas pengambilan atau pengerukan pasir ini tentu akan merusak sebaran ekosistem Terumbu Karang yang ada di perairan Benoa” Tegasnya.
Selanjutnya pengambilan atau pengerukan pasir juga akan dilakukan di Perairan Jimbaran yangmana dalam wilayah perairan tersebut terdapat jalur migrasi penyu yang hanya berjarak sekitar 486,78 meter sampai 557,97 meter di utara lokasi pengambilan pasir. Perairan Jimbaran atau Laut Bali merupakan kawasan perairan yang merupakan Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 573 khususnya ikan Lemuru berdasarkan Keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 68/KEPMEN-KP/2016. Dalam keputusan tersebut Perairan Jimbaran yang meliputi daerah Bukit, Benoa, Jimbaran dan Pemancar terkonfirmasi merupakan Zona VI dan merupakan kawasan dugaan Spawning Ground atau tempat Pemijahan Ikan.Dilakukannya aktivitas pengambilan atau pengerukan pasir diwilayah tersebut tentu akan berdampak terhadap jalur migrasi Penyu dan Kawasan Perikanan yang terdapat di Bali Selatan. “Kami mendesak jika proyek pengambilan atau pengerukan Pasir di wilayah tersebut harus dibatalkan karena akan menghancurkan ekosistem perairan khususnya Jalur Migrasi Penyu dan Kawasan Perikanan” imbuhnya.

Berkaca pada pengambilan dan pengerukan pasir di berbagai daerah seperti misalnya di Pulau Rupat Provinsi Riau dan Pulau Kodingareng Provinsi Sulawesi Selatan yangmana aktivitas pengambilan atau pengerukan pasir laut telah merusak ekosistem perairan serta tentu memberikan dampak bagi aktivitas nelayan dan masyarakat sekitar.

Surat tanggapan kemudian diberikan ditengah forum oleh Direktur WALHI Bali dan diterima oleh perwakilan Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Ida Ayu Dewi Putri Ary bersama Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup I Made Teja dan Perwakilan Balai Wilayah Sungai Bali-Penida Gede Lanang Sunu Perbawa. (RED-MB)