Denpasar, (Metrobali.com)

Pasca ditetapkannya Presiden terpilih ke 8 Prabowo Soebianto oleh KPU, secara moral dan etika politik, posisinya sebagai Presiden yang akan pergi, diibaratkan dengan “lamb duck”, Bebek Lumpuh, tidak lagi mengambil keputusan strategis yang memengaruhi konfigurasi politik, yang akan menjadi beban Presiden Prabowo Subianto.

Hal tersebut dikatakan I Gde Sudibya, pengamat politik, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004, pengamat kebudayaan, menanggapi menjelang lengser presiden Jokowidodo (JW) pada 20 Oktober 2024.

JW tidak mengambil posisi itu, terus cawe-cawe untuk melakukan konsolidasi kekuatan untuk mengamankan posisinya dalam hitungan hari yang akan berakhir. Misalnya, mengganti menteri yang berasal dari PDI Perjuangan yang selama 9 tahun “pasang badan” untuk menjaga stabilitas kekuasaannya.

Menurut hitungan media, lanjut I Gde Sudibya, di tengah-tengah “cawe-cawe” politik yang terus berlangsung, JW paling tidak mengucapkan permintaan maaf ke publik sekurang-kurangnya 8 kali, yang tidak pernah dilakukan oleh tujuh Presiden sebelumnya.

Sebut saja, tentang Presiden pertama Soekarno, setelah sebut saja dikenakan tahanan rumah di Wisma Yaso, sekarang Musium Satria Mandala, Jalan Gatot Soebroto, Jakarta, dan kemudian dicabut kekuasaannya oleh MPRS dengan Tap MPRS No.33/1967, Presiden pertama ini menerimanya, tanpa “basa-basi” permintaan maaf.

Demikian juga dengan Pak Harto, setelah mendengar masukan dari sejumlah tokoh yang “dikoordinasi” oleh cendikiawan Nurcholis Madjid, didudukinya gedung MPR/DPR oleh mahasiswa, dan mundurnya sejumlah menteri Ginandjar dkk, Pak Harto menyatakan berhenti sebagai Presiden di hadapan Mahkamah Agung. “Pernyataan berhenti yang menggambarkan sikap kesatria,” kata I Gde Sudibya.

Demikian juga dengan Gus Dur, pasca Tap MPR RI yang mencabut kekuasaan Presiden, Gus Dur dini hari, dengan bercelana pendek didampingi Yeni Wahid meninggalkan Istana Merdeka. Sebagai Gandhian, intelektual humanis ini tidak terikat dengan kekuasaan.

Dikatakan, sikap dan prilaku dari ketiga bapak bangsa di atas, berbeda jauh dengan JW di menjelang penggantian dalam hitungan hari, 20 Oktober 2024.

“Dengan indikasi prilaku terkesan panik dan gugup di menjelang penggantian pemerintahan, tampaknya ada rasa bawah sadarnya ada rasa ketakutan menghadapi risiko ketidak-pastian akan hari-hari setelah tanggal 20 Oktober 2024 yang akan segera tiba. Tampak sebagai pemimpin tidak punya karakter kuat – strong personality dan jauh dari sikap kenegarawanan,” kata I Gde Sudibya.

Dikatakan, presiden Jokowidodo tidak mau belajar dari kenegarawanan George Washington, Bapak Pendiri dan Presiden pertama AS, yang keluar dari White House naik kereta kuda tidak lagi menoleh ke belakang, walaupun begitu banyak orang yang mengelu-elukannya. (Sutiawan).