Mengenang Kembali Pemikiran Soekarno, Relasinya dengan Karya Intelektual cum Spiritual: Vivekananda, Tagore dan Aurobindo
Ilustrasi
Denpasar, (Metrobali.com)
Nama-nama yang telah membentuk peradaban manusia seperti Tagore, Vivekananda, dan Aurobindo. Pemikir besar ini, seperti diakui Soekarno telah memperluas wahana pemikiran Sang Putra Fajar. Sajak-sajak Soekarno, termasuk yang berjudul ” Aku Melihat Indonesia” dipengaruhi oleh karya sastra “master piece” Tagore Patanjali.
“Buku Svami Vivekananda bertema WAKE UP, BANGKIT (Secara Spiritual) telah menyelamatkan orator kelas satu Indonesia ini dari “lembah” keputusasaan pada saat dipenjara di Sukamiskin oleh NICA (Nederland Indie Civil Admistration),” kata I Gde Sudibya, intelektual Hindu, pembelajar pemikiran Soekarno.
Dikatakan, rasa putus asa yang tidak lagi bisa diobati oleh kedatangan istri tercinta Inggit Gunarsih yang secara rutin menyambangi di bilik penjara.
Soekarno pembaca ulang nan telaten, narasi penting dalam buku Wake Up, diberi tanda garis bawah, di samping Kiri dan Kanan diberikan catatan dengan kata respek dan kekaguman terhadap sang pengarang.
Di halaman depan buku menyatakan pernyataan kekaguman terhadap pesan makna materi isi buku dengan pertanyaan, yang bisa ditafsirkan sebagai isi buku Vivekananda ini, mentransformasi batinnya.
Soekarno sebut saja pemikut setia Aurobindo. Cukup banyak tulisan Soekarno dengan rentang waktu 25 tahun, 1920 – 1945, merujuk pemikiran Aurobindo dan menyebut nama cendikiawan ini berkali-kali.
Bahkan diksi kata menyebut beberapa: perjuangan tanpa pamrih, dedikasi buat bangsa, intelektualitas yang diabdikan -intelectual dedication-, berasal dari bacaan Soekarno dari sebuah buku kecil Bagavad Githa edisi bahasa Inggris yang ditulis-tafsirkan oleh cendikiawan ternama Bhartiya ini.
BG versi ini, menjadi semacam bacaan “wajib” bagi antropolog ternama Prof.Ngurah Bagus.
Gelusing cerita, penyebutan “predikat” Prof.bagi rekan Ketut Donder dari seminar besar di atas, bukanlah sebutan “tetep bengek” berkaitan masalah administrasi rumit dan menjengkelkan di negeri ini.
Sebutan yang konon telah mentradisi di abad pertengahan Eropa di masa pencerahan di kota Wina, sebagai penghormatan terhadap scholars yang mumpuni di bidang tertentu dalam sebuah seminar yang diselenggarakan.
Tradisi ini, juga berlangsung di Indonesia. (Sut)