Kekerasan Demokrasi, Sejarah Peradaban Indonesia yang Bergerak Mundur
Ilustrasi
Denpasar, (Metrobali.com)
Tindakan kekerasan yang menurut berita di medsos, dilakukan oleh sekelompok preman bayaran, terhadap diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Tanah Air, kelompok diskusi yang anggotanya terdiri dari warga diaspora Indonesia yang menyebar di lima benua, Sabtu, 29 September 2024 di Hotel Grand Kemang, Kemang Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sekitar pukul 9.00 WIB.
Kekerasan yang membubarkan acara diskusi, pihak kepolisian yang ada di lapangan tidak langsung melakukan penahanan terhadap pelaku, karena jelas-jelas telah melakukan pelanggaran hukum, menghalangi hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul, menyampaikan pendapat, yang dijamin pasal 28 UUD 1945.
Acara diskusi ini, dilakukan dengan zoom, terhubung ke lima benua, sehingga tindakan brutal tsb menjadi tontonan masyarakat internasional, menggambarkan kebiadaban sejumlah orang, menggunakan kekerasan, yang sudah tentu memperburuk citra Indonesia di forum dunia, sekaligus menurunkan indeks demokrasi.
Seorang peserta diskusi, pasca “penggrebengan” menyatakan ini bentuk kekerasan terhadap demokrasi, dan tindakan ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan demokrasi -democratic crime-.
Sudah semestinya polisi segera menangkap pelakunya dan aktor intelektual di belakangnya segera, untuk menghindarkan terjadinya potensi konflik horizontal bernuansa SARA.
Menurut I Gde Sudibya, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan bahwa peristiwa memalukan ini merupakan kemunduran demokrasi -democratic set back’ yang diperjuangkan dengan susah payah dalam gerakan reformasi 26 tahun yang lalu, upaya keras untuk merawatnya dalam kurun waktu di atas.
Dikatakan, dalam krisis demokrasi yang sedang berlangsung, menarik disimak tulisan dari Ignas Kleden dalang bukunya “Fragmen Sejarah Intelektual”: “Dibutuhkan waktu berabad-abad untuk beralih dari perbudakan (slavery) ke perhambaan (serfdom), dari perhambaan ke feodalisme, dari feodalisme ke aristokrasi, dan dari aristokrasi ke persamaan di depan hukum dalam demokrasi”.
Dikatakan, kalau disimak perjalanan politik kekuasaan, sebut saja dalam lima tahun terakhir, terdapat tanda-tanda jelas, kita mengalami kemunduran peradaban politik kekuasaan yang serius. Dengan alur (sequance) seperti dibawah ini.
Pertama, persamaan di hadapan hukum dalam demokrasi, yang diperjuangkan dengan keras dalam gerakan reformasi. Terjadi kemunduran dalam butir dua, muncul fenomena aristokrasi, dalam kritik bernama satire “Republik rasa kerajaan, bercirikan: nepotisme, oligarki, ambisi kekuasaan “yang malu-malu tetapi mau”.
Dalam akronim KONOHA. Terkonfirmasi dari pernyataan “nendang” dari Bahlil: “raja Jawa yang ngeri-ngeri sedap”. Terjadi kemunduran dalam butir tiga, sistem feodalisme, yang berwujud nyata dalam POLITIK DINASTI dengan dukungan vested interest, termasuk vested interest yang “disandra”. Film dokumenter DITY VOTE, Pemilihan yang Kotor, menggambarkan sisi buruk dari politik dinasti, yang memendam warisan feodalisme.
Terjadi kemunduran dalam butir empat, puluhan juta orang-orang miskin, sebut saja “dipelihara”, dijadikan elegi kemiskinan, kemiskinan yang “dipertontonkan”, yang kemudian “dibeli” secara politik melalui bansos dan sejenisnya, untuk peraihan dan perpanjangan kekuasaan.
Terjadi kemunduran dalam butir lima, perbudakan (slavery), dalam realitas sosial, jutaan warga masyarakat terusir dari tanah leluhurnya, dan atau tidak pasti masa depannya, akibat “penjarahan” tanah mereka, oleh negara atas nama pembangunan, yang memberikan keuntungan luar biasa kepada belasan pengusaha tambang dan industri sawit.
Menurutnya, UU Cipta Kerja tahun 2020, telah gagal menciptakan kesempatan kerja bagi komunitas buruh, posisi tawarnya begitu lemah berhadapan dengan pengusaha.
“Mereka seperti budak di zaman modern, mirip yang dialami oleh banyak tenaga kerja Indonesia di luar negeri yang menjadi korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang),” katanya.
Dikatakan, dqwi tengah kemunduran peradaban yang serius ini, elite tetap “business as usual”, dan “pesta pora”: korupsi kekuasaan terus berlanjut.
” Kalangan intelektual, para pengumpul Ilmu (meminjam istilah Dr. Daoed Josoef, Menteri P & K di era Orba) , “barisan orang bertitel” (meminjam istilah Soetan Sjahrir, Perdana Menteri Pertama negeri ini), tetap berpangku tangan, dan nyaris tidak berbuat apa-apa,”.
“Barangkali benar apa yang tertulis dalam satu bait Upanisad, “jika keserakahan menguasai manusia, maka kecerdasan akan lumpuh”,” kata iGde Sudibya, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan. (Sutiawan).