Denpasar, (Metrobali.com)-

Di era kemalasan berpikir, keengganan berpikir berat tetapi gandrung dan haus akan berbagai ragam titel, untuk ditempelkan sebagai status (palsu) kehidupan, yang merupakan penggambaran menurunnya kualitas keadaban publik, menyongsong penggantian Presiden tanggal 20 Oktober 2024, ” Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja”dengan sejumlah indikator.

Hal tersebut dikatakan I Gde Sudibya, intelektual, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan, Sabtu 28 September 2024.

Menurutnya, Indonesia Sedang Tidak Baik-Baik Saja”dengan sejumlah indikator.

Pertama, hutang pemerintah yang menumpuk, per 31 Desember 2023 Rp. 8,000 T, dengan komposisi: Rp.3,500 T, 42 persen, dilakukan oleh pemerintahan Jokowi. Hutang ini belum termasuk hutang BUMN yang juga “bejibun”.

Kedua. kebijakan fiskal pemerintah dalam hutang, “tutup lubang gali lubang”, penambahan hutang baru, juga untuk melunasi hutang lama berupa: angsuran dan bunga hutang yang telah jatuh tempo.

Ketiga, pengelolaan dana sistem perbankan yang tidak sehat, dana perbankan yang yang ada, “direbut” oleh pemerintah untuk membeli Surat Hutang Negara, sehingga pasokan dana perbankan bagi puluhan juta UMKM tersumbat.

“Opportunity cost” nya mahal: pertumbuhan ekonomi tidak berkualitas, tersumbatnya kesempatan kerja, deindustrialisasi semakin menjadi-jadi,” katanya .

Keempat, UU Cipta Kerja tahun 2020 telah gagal menciptakan kesempatan kerja berkeadilan, pemutusan hubungan pada industri padat karya, seperti industri tekstil terus bertambah.

Kelima, tax ratio, perbandingan antara pendapatan negara dengan pendapatan nasional (GDP) 9 persen, terendah semenjak Orde Baru, pada sisinya yang lain moral hazard dalam pemungutan pajak begitu nyata dan transparan.

Keenam, angka dugaan korupsi tinggi, merujuk release PPATK yang dimuat Kompas TV, PSN tahun 2023 senilai Rp.500 T, diduga dikorupsi 36,67 persen oleh birokrat dan politisi, dengan aliran dana yang jelas dan bisa ditelusuri.

Ketujuh, kerusakan lingkungan akibat penambangan Batu Bara, Nikel dan industrialisasi Sawit super dashyat, dibarengi dengan menurut AMAN (Asosiasi Masyarakat Adat Nusantara), sekitar 5 juta masyarakat adat terkatung-katung dan tidak jelas masa depannya, akibat tanahnya dirampas atas nama pembangunan “Pembangunanisme”.

Kedelapan, menurut KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) hutan seluas 28 juta ha, punya potensi dibagikan ke belasan pengusaha tambang dan industri sawit, dan perusahaan berkedok swasembada pangan, yang bisa semakin meminggirkan jutaan warga adat dari tanah leluhurnya. Di sisi yang lain RUU tentang Masyarakat Adat, sampai hari ini “digantung” pembahasannya oleh DPR.

Kesembilan, kesenjangan pendapatan, ketidakadilan ekonomi semakin tajam, dalam lima tahun terakhir berdasarkan data BPS, jumlah kelas menengah berkurang sekitar 10 juta orang, bisa menjadi kelompok masyarakat yang menjadi rentan miskin.

“Padahal berdasarkan data Bank Dunia, dengan tolok ukur garis kemiskinan: 2 US Dolar, untuk pengeluaran per orang per hari, jumlah orang miskin 40 persen dari penduduk, mendekati angka 100 juta orang. Ironisnya, kemiskinan menjadi Elegi, “dipertontonkan”, kemudian dijadikan alat politik untuk meraih kekuasaan dengan berbagai rupa “bantuan” BLT dan sejenisnya.
Tantangan yang harus segera dijawab oleh Presiden Terpilih Prabowo Subianto,” kata I Gde Sudibya, intelektual, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan. (Sutiawan)