Denpasar, (Metrobali.com)

Kurang dari satu bulan, menjelang pelantikan Prabowo sebagai Presiden ke delapan, tim ekonomi dari partai Gerindra Syarifudin Abdulah sebagaimana diberitakan di media sosial, menyatakan “warisan” yang diterima Prabowo dari pemerintahan Jokowi, berupa APBN yang cekak.

Menurutnya, APBN tahun 2025, tahun pertama pemerintahan Prabowo “dipatok” sebesar Rp.3,600 T, naik sekitar 10 persen dari APBN tahun 2024.

Menurut Syarifudin Abdulah, mantan Gubernur BI ini, dari dana Rp.3,600 T di atas, yang tersisa untuk belanja pemerintah pusat, sekitar Rp.1,100 T – Rp.1,200 T, setelah dikurangi: transfer dana daerah dan pembayaran hutang.

Menurut I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan,
Dana belanja pemerintah pusat ini, sudah tentu amat sangat kecil, tidak akan mampu membelanjai pengeluaran pemerintah pusat.

“Pengeluaran untuk dana pendidikan sekitar Rp.650 T yang telah “dipatok” aturan konstitusi, dana program makan siang gratis/ program penambahan gizi Rp.450 T, telah menghabiskan dana APBN,” katanya.

Menurut I Gde Sudibya, pemerintahan tahun pertama Prabowo, tamsilnya “pusing tujuh keliling” untuk mencari sumber pinjaman untuk membelanjai: biaya operasional pemerintah pusat, dana pembangunan yang menjadi prioritas pemerintahannya.

Oleh karena itu, diperlukan dana minimal sebesar Rp.800 T, sebagai dana pengganti pelunasan hutang sebesar itu, karena Pemerintahan Jokowi selama ini, menggunakan cara “tutup lubang gali lubang” untuk pembayaran hutang luar negeri.

Dikatakan, dana tambahan sebesar Rp.800 T menjadi terlalu kecil, sangat tidak cukup untuk mendanai ambisi pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 8 persen, plus janji-janji proyek dengan spirit sosialisme.

Menurut I Gde Sudibya, Tahun pertama “bulan madu” Pemerintahan Prabowo, dihadapkan pada APBN yang “super cekak”.

Dalam kondisi ini, lanjut Gde Sudibya, Presiden Terpilih ke 8 ini, diperkirakan dihadapkan kepada tantangan psikologis personal yang tidak ringan.

Prabowo yang datang dari keluarga terpandang, ayahnya ekonom senior ternama dan terpandang negeri ini Prof.Soemitro, kakeknya Margono Djojohadikoesoemo, pejuang kemerdekaan pendiri BRI di tanah kelahirannya Poerwokerto, tepatnya kecamatan Dawuan di Timur Poerwokerto, di kaki Bukit Dawuan yang asri nan indah.

Sudah tentu, sebagai insan manusia yang normal, punya harga diri dan kebanggaan diri -personal and family pride-, amat sangat sulit menerima, konon, berbagai ragam cacian dan hinaan dalam akun FUFU FAFA yang diduga dimiliki oleh Gibran yang menjadi wakilnya dalam pemerintahan.

Dikatakan, bisa jadi, posisi Gibran menjadi “Duri dalam Daging” Pemerintahan Prabowo yang di tahun pertama dihadapkan pada APBN yang “super cekak”.

Di samping persoalan-persoalan serius: melakukan konsolidasi politik pasca Pilpres “keras” 14 Februari 2024, melakukan “emergency programme” penyelamatan lingkungan, pengendalian krisis lingkungan, koreksi terhadap ketimpangan pendapatan dan ekonomi yang akut.

“Geopolotik politik yang “fragile”, dengan bayang-bayang risiko terjadinya Perang Dunia Ketiga dengan senjata nuklir,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kecenderungan masa depan. (Sutiawan)