Galungan: Transformasi dan Realisasi Diri
Rabu, 25 September 2024, dina Buda Kliwon Dungulan, raina Galungan, sasih Ketiga Icaka 1946.
Galungan sebagai momentum untuk transformasi diri menuju realisasi diri.
Transformasi diri, proses melihat diri ke dalam, menuju ke kedalaman diri, dari pikiran, hati, kebijaksanaan menuju Ananda Maya Kosa (ketercerahan diri).
Dalam Pandangan Svami Vivekananda: SAT (Ada, baca Tuhan), CHIT (pengetahuan tentang realitas Tuhan), ANANDA (Samudra kebahagiaan).
Dalam Pandangan Rsi Pantanjali, Astangga Yoga, delapan tingkatan menuju realitas Tuhan: yama, nyama, amanah, pranayama, praktyahara, dharana, dhyana, samadhi.
Dalam sastra bab dua Bagavad Githa: Tri Guna Titha, kualifikasi yang telah melewati Satvam, Raja, Taman, -beyond Tri Guna-.
Realisasi diri yang membumi, dalam sejumlah kualifikasi diri, menyebut beberapa, pertama, Tri Kaya Parisudha, bukan sastra di luar diri, tetapi sastra yang membatasi, dorongan yang datang dari dalam diri. Kedua, bertumbuhnya kecerdasan, dalam bahasa kontemporer ke kinian: kecerdasan fisik yang intinya disiplin, kecerdasan intelektual yang intinya cerdas dalam relasi sebab – akibat, kecerdasan emosional yang intinya empati, kecerdasan spiritual yang intinya integritas dan spirit diri yang nyaris tanpa batas. Antusiasme kehidupan, sederhananya kekuatan Tuhan bekerja pada insan manusia terberkati.
Dalam pandangan agama spiritual, banyak persoalan sosial yang akan mampu diselesaikan. Persoalan sosial akut, yang oleh Mahatma Gandhi dirumuskan dengan bahasa sederhana nan singkat,yang pangkal penyebabnya: Tujuh Dosa Sosial (Seven Sosial Sins) yang menjadi penyakit sosial masyarakat. Satu, politik tanpa prinsip. Dua, bisnis tanpa moralitas. Ketiga, pencarian kekayaan tanpa upaya kerja. Keempat, pendidikan tanpa karakter. Kelima, iptek tanpa kemanusiaan. Keenam, pencarian kesenangan tanpa upaya pembatasan diri. Ketujuh, bhakti kepada Tuhan tanpa kerelaan berkorban.
Dalam konteks Bali, “social diseases” ini, tampak dalam “dasa muka” persoalan: pengelolaan APBD yang tidak berempati pada kepentingan rakyat, politik “belah bambu”, rusaknya alam, korupsi rame-rame “bebanjaran”, “nitya wacana” dan sejumlah prilaku destruktif lainnya.
Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, pemerhati kebudayaan.