Paradoks Kepemimpinan dari Presiden Jokowi
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik
Kurang dari satu bulan, penggantian Presiden, dari Jokowi ke Prabowo akan berlangsung.Kalau dilakukan kilas balik kepemimpinan ybs.selama sepuluh tahun, tampak terjadinya paradoks kepemimpinan, apa yang diucapkan, dicitrakan tidak sesuai dengan realitasnya. Dalam literatur kepemimpinan diistilahkan dengan “leadership paradox”.
Menyebut beberapa dari “model” kepemimpinan paradoks ydm. Pertama, dicitrakan: pemimpin sederhana yang lugu, kesannya tidak haus kekuasaan, keluarganya tidak berminat dengan “hiruk pikuk” politik kekuasaan. Namun faktanya, membangun Politik Dinasti, memporak-porandakan sistem demokrasi yang dibangun dengan susah payah, prilaku hedonis dari keluarganya (dalam kasus penyewaan pesawat charter) serta diindikasikan anggota keluarganya melakukan komunikasi di media sosial dengan kualitas yang amat sangat buruk (dalam kasus FUFU FAFA). Kedua, jargon kampanyenya: “demokrasi mendengar suara rakyat”, tetapi faktanya, melemahkan KPK yang merupakan harapan rakyat, karena rakyat meyakini, tanpa penghapusan korupsi, nyaris tidak mungkin kesejahteraan dambaan rakyat akan terwujud. “Menelikung” konstitusi, melalui keputusan MK.No.30/2023 guna meloloskan anaknya Gibran menjadi Capres. Film dokumenter “Dirty Vote”, Pemilihan yang Kotor, menjadi saksi sejarah, bagaimana proses demokrasi yang sehat dan bertanggung jawab dimanipulasi. Ketiga, dicitrakan sebagai pembela “wong cilik”, melalui “produksi” pencitraan, selama menjadi Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jaya (yang singkat), tetapi realitasnya, dalam pemberian izin: HGU industri sawit, IUP Batubara, Nikel dan penentuan PSN Bumi Serpong Damai dan Proyek Pantai Indah Kapuk II, publik mendapat kesan kuat, sejumlah oligark memengaruhi dan bahkan mendikte pengambilan keputusan publik. Keempat, proyek perlindungan sosial yang jumlahnya ratusan triliun per tahun, yang dicitrakan bentuk empati kepada kepentingan rakyat kecil, ternyata dalam kampanye Pilpres tahun 14 Februari 2024, dijadikan alat politik kekuasaan untuk pemenangan pasangan 02 Prabowo – Gibran. Berdasarkan perhitungan ekonomitri seorang ekonom dari FEUI, “bansos effect” untuk kemenangan Prabowo Gibran sebesar 16 persen. Angka yang sangat signifikan yang membuat kompetisi Pilpres “berhenti” di satu kali putaran. Terjadi kontradiksi, kemiskinan menjadi sebuah Elegi, “dipertontonkan”, kemudian dijadikan instrument politik untuk meraih kekuasaan. Kelima, jargonnya di masa kampanye, meminjam ajaran Soekarno tentang Tri Cakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, berkepribadian di bidang kebudayaan, tetapi realitasnya, publik memperoleh kesan, sangat kuatnya dominasi kepentingan China dalam pembangunan infrastruktur, pertambangan Batubara, hilirisasi Nikel, dan pembukaan secara luas untuk “banjirnya” produk China ke pasar dalam negeri.
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik.