Ilustrasi

 

Denpasar, (Metrobali.com)

Manajemen pemerintahan sangat boros, beberapa indikasinya adanya dugaan kolusi eksekutif dan legislatif di semua tingkatan, yang melahirkan korupsi sistemik, sehingga korupsi kekuasaan dan pemborosan birokrasi memperoleh legitimasi aturan hukum formal.

Hal tersebut dikatakan I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi pembangunan, Jumat 20 September 2024 menanggapi tingginya harga beras dan tindakan korupsi di Indonesia.

Dikatakan, indikasi lain borosnya birokrasi adanya sinyalemen kuatnya oligarki dalam mendikte kebijakan publik, melahirkan dashyatnya korupsi kekuasaan pada semua lini, sehingga birokrasi kehilangan standar moral dan etika.

“Dampaknya, birokrasi yang boros, biaya pelayanan birokrasi bagi publik menjadi mahal,” kata I Gde Sudibya.

Sudibya mengatakan, menyimak ICOR dari proyek infrastruktur, yang diperkirakan lebih tinggi pada putaran 25 – 30 persen, merupakan gambaran makro ekonomi, berupa tingginya biaya ekonomi -high cost economy- dari organisasi birokrasi yang korup dan boros.

“Kalau di di pertengahan tahun 1980’an, Prof Soemitro memperkirakan angka kebocoran dana pembangunan sekitar 30 persen, dengan menggunakan angka ICOR (Increamental Capital Out Put Ratio), nisbah/perbandingan antara jumlah dana rupiah yang dikeluarkan untuk menghasilkan Rp.1 out put), yang terdiri dari: 10 persen akibat salah perencanaan, 10 persen akibat biaya perawatan dan pemeliharaan proyek dan 10 persen karena korupsi,” katanya.

Realitas sekarang, lanjut Gde Sudibya diperkirakan lebih tinggi dari angka kebocoran 30 persen dari Prof. Soemitro.
PPATK dalam press releasenya yang diberitakan Kompas TV, dana PSN tahun 2023 sebesar Rp.500 T, diduga dikorupsi oleh birokrat dan politisi sebesar 36,67 persen, lengkap dengan aliran dananya, orang yang menerima dan kemana dana hasil korupsi ini dibelanjakan.

Dikatakan, mungkin tak banyak yang tahu, harga beras di Indonesia ternyata yang paling mahal di kalangan negara anggota ASEAN. “Itu hasil survei Bank Dunia lho. Apa gunanya ada Badan Pangan Nasional (Bapanas) jika harga beras masih mahal?,” katanya.

“Konsumen Indonesia telah membayar harga tinggi untuk beras. Harga eceran beras di Indonesia secara konsisten lebih tinggi daripada di negara-negara ASEAN,” ungkap Country Director for Indonesia and Timor-Leste Bank Dunia, Carolyn Turk dalam Indonesia International Rice Conference (IIRC) di The Westin Resort Nusa Dua, Bali, Kamis (19/9/2024).

Akibatnya, lanjut dia, masyarakat Indonesia harus merogoh dompet dalam-dalam demi memenuhi kebutuhan pangan, terutama untuk beras. “Kami memperkirakan, konsumen Indonesia membayar hingga 20 persen lebih mahal untuk makanan mereka, ketimbang mereka bayar di pasar bebas,” jelasnya.

Celakanya, lanjut Carolyn, mahalnya beras tidak seiring dengan tingkat kesejahteraan petani di Indonesia. Berdasarkan survei Bank Dunia, kehidupan sebagian besar petani Indonesia jauh dari kategori sejahtera.

Pendapatan dari petani di Indonesia, kata dia, masih di bawah US$1 per hari atau setara Rp 15.207. Dalam setahun diperkirakan kurang dari US$341, atau setara Rp5 juta. Menyedihkan sekali.

“Yang kita lihat adalah bahwa pendapatan banyak petani marjinal sering kali jauh di bawah upah minimum, bahkan sering kali berada di bawah garis kemiskinan. Menurut Survei Terpadu Pertanian 2021 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), pendapatan rata-rata petani kecil kurang dari 1 dolar sehari, atau hanya 341 dolar AS dalam setahun,” ungkapnya.

Temuan Bank Dunia ini, menjadi tamparan keras bagi Bapanas yang bertugas untuk menjaga harga pangan, utamanya beras, tidak semahal saat ini. Jelas sudah, lembaga yang dipimpin Arief Prasetyo Adi ini, gagal menjalankan tugas. Bahkan mempermalukan pemerintahan Jokowi yang sebulan lagi lengser.

Untuk menurunkan harga beras di pasaran, kata Arief, Bapanas mengandalkan program bantuan pangan. Lewat optimalisasi pendayagunaan stok Cadangan Pangan Pemerintah (CPP). (Sutiawan).