Club malam salah satu pendukung industri Pariwisata di Bali.

Denpasar, (Metrobali.com)

Tantangan yang dihadapi Bali di tengah kisah “sukses” -success story- industri pariwisata sangat berat. Masyarakat Bali terutama pendukung budaya Bali tidak semuanya mendapatkan Limpahan kue pariwisata.

“Tantangan yang dihadapi Bali di tengah kisah “sukses” -success story- industri pariwisata adalah kemiskinan ekstrim,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kebudayaan, Rabu 18 September 2024.

I Gde Sudibya menyebut kemiskinan dengan tiga kategori: ekstrem, di bawah garis kemiskinan (ukurannya pengeluaran Rp.550 ribu, per orang, per bulan), rentan menjadi miskin (akibat pengangguran, sakit, kenaikan harga pangan).

Di sini kata I Gde Sudibya, Industri pariwisata telah gagal menciptakan dampak menetes ke bawah -triccle down effect- dari nikmat pariwisata.

Dikatakan, bentuk pemiskinan (impavorishment), akibat: kemiskinan, keterpinggiran masyarakat secara ekonomi, politik, kultural, dengan “out put”, bisa: kekerasan rumah tangga, perceraian, gangguan jiwa, fenomena bunuh diri dan prilaku yang menggambarkan terpinggirkan masyarakat.

Penyebab kemiskinan, biaya ekologi yang tinggi, konversi lahan pertanian per tahun 2,000 ha, sudah sampai di titik “neraka”, karena menurut perkiraan rekan mendiang Prof.Wyn.Windia, kalau konversi lahan tidak dikendalikan, pasca 10 tahun Subak tinggal nama.

Dikatakan, RTRW Bali 2023 – 2043, “boro boro” melakukan koreksi, tetapi sebaliknya, menjadi lebih liberal kapitalistik, akan lebih mendorong konversi lahan pertanian, dan proses pemiskinan yang lebih besar.

“Rencana ambisi besar, membangun kawasan industri ULAPAN (Ubud, Tegal Lalang, Payangan), tanpa studi komprehensif dan bertanggung jawab dan tidak melibatkan pakar kebudayaan Bali yang mumpuni dan kredibel, merupakan salah satu contohnya,” kata I Gde Sudibya.

Dikatakan, seharusnya ada keputusan politik untuk moratorium investasi skala menengah dan besar pada industri pariwisata Bali, tetapi persoalannya siapa yang mau dan berani.

Karena menurut penelitian Walhi, ada korelasi antara pemberian izin investasi dengan kegiatan Pemilu, Pilpres dan Pilkada, yang diduga sebagai sumber pendanaan kampanye.

“Meminjam istilah Prof. Emil Salim, demokrasi oleh para cukong.
Gelising cerita, di menjelang Pilkada Serentak 27 November 2024, pemilih krama Bali diharapkan lebih cerdas menggunakan “viveka” nya, kecerdasan pembeda: “mana emas mana loyang”,” kata I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik dan kebudayaan. (Sutiawan).