Denpasar, (Metrobali.com)-

Angka gangguan jiwa di Bali, sebanyak 34 orang perseribu penduduk, sementara di tingkat nasional ada sebanyak 17 perseribu penduduk, jadi dua kali lipat dibandingkan rata-rata nasional, semenjak tahun 2018. Mari jadikan musuh bersama dalam penanganan.

“Tingginya gangguan jiwa dan bunuh diri merupakan peringatan keras (wake up call) dari buruknya penyelenggaraan kebijakan publik untuk melindungi masyarakat dari sudut kesejahteraan sosial. Demikian juga tingginya angka bunuh diri,” kata I Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, ekonom, pengamat kebijakan publik, Rabu 18 September 2024.

Menurutnya, petisi untuk menempatkan 1 tenaga medis, psikiatri dan atau psikolog klinis di setiap puskesmas pantas didukung, untuk memberikan kesadaran kepada publik tentang besarnya risiko ini, terutama kepada tuan dan penguasa yang menentukan anggaran APBD di tingkat Provinsi, Kabupaten dan Kota.

Dikatakan, kesalahan politik anggaran selama ini, bias ke bantuan sosial untuk elektabilitas sang Gubernur, Bupati dan Walikota telah semakin meminggirkan masyarakat. Akibatnya, indikator kesejahteraan sosial yang buruk: angka kemiskinan ekstrem tinggi, gangguan jiwa dan fenomena bunuh diri.

Akibat lain Bansos Elektabilitas, kata Gde Sudibya, sistem sosial masyarakat Bali rapuh dalam merespons perubahan, yang di masa lalu dikenal tangguh dalam merawat solidaritas sosial.

“Ini merupakan tantangan Besar bagi: pengelolaan kehidupan di keluarga inti (peran Ortu, hubungan internal keluarga), masyarakat pendidikan, banjar dan desa pakraman untuk berbenah, di tengah krisis kemanusiaan yang menghadang generasi muda, ” katanya.

Dikatakan, masyarakat Bali dengan orientasi paternalistik vertikal, memerlukan pemimpin berwatak panutan, yang bercirikan dalam bahasa sekarang: punya etika (etikabilitas), intelektualitas, kapabilitas yang ditunjukkan oleh rekam jejaknya (track record).

“Bukan politisi demagog, hanya pintar bikin janji, tetapi tidak punya kapasitas dalam program aksi. Tamsilnya “musang berburu ayam”,” kata I Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, ekonom, pengamat kebijakan publik.

Menurutnya, petisi sebagai “shock therapy” penting, terutama kepada tuan dan penguasa yang “gila” kekuasaan, power feed to power. Di samping membangkitkan rasa “jengah” krama Bali, karena ada tantangan kemanusiaan yang menghadang di depan mata.

“Rasa percaya diri dan harga diri yang harus dipulihkan, tidak sekadar “membebek” “uang receh” bansos , komisi proyek, komisi broker tanah yang tidak sebanding dengan kerusakan sosial menahun yang mengikutinya,” katanya.

Dewan Pimpinan Daerah Prajaniti Hindu Indonesia Provinsi Bali dalam Tri Bhakti-nya dibidang bhakti warga (Kemanusiaan), mendukung penuh pengadaan, penempatan tenaga psikolog klinis di seluruh Puskesmas se-Bali dalam upaya menekan angka kematian akibat bunuh diri serta gangguan mental lainnya.

Sebagai daerah sentra pariwisata, katanya dalam beberapa kasus, pelaku bunuh diri bahkan ada diantaranya adalah warga negara asing yang berlibur dan tinggal di Bali. Penanganan holistik sangat dibutuhkan agar Bali tidak menjadi daerah darurat bunuh diri!

Dewan Pimpinan Daerah Prajaniti Hindu Indonesia Provinsi Bali melalui petisi online ini berinisiatif mendorong pemerintah pusat segera bertindak dengan mengadakan serta menempatkan tenaga psikolog klinis pada seluruh Puskesmas di Bali.

Hal ini dalam upaya menekan semakin naiknya suicide rate di daerah pariwisata favorit ini.Keberadaan Psikolog Klinis diharapkan dapat memberikan upaya preventif, edukasi, serta penguatan pemahaman kesehatan mental masyarakat perdesaan. (Sutiawan)