Indikator Kesejahteraan Sosial Bali Buruk, Tantangan Kepemimpinan Bali Lima Tahun Mendatang
Denpasar, (Metrobali.com)
Indikator kesejahteraan sosial (social welfare indicators) Bali sangat buruk, terlebih-lebih kalau dimasukkan variabel: penggunaan dan perdagangan narkoba, konsumsi minuman keras plus Kdrt.
“Indikator Kesejahteraan Sosial Bali Buruk, Tantangan Kepemimpinan Bali Lima Tahun Mendatang,” kata I Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, Intelektual Hindu, Sabtu 14 September 2024.
Menurut I Gde Sudibya bahwa rakyat Bali belum makmur ada beberapa indikasi. Angka bunuh diri dan gangguan jiwa di Bali tertinggi secara nasional. “Tuan dan Puan penguasa gagal mengungkit kesejahteraan sosial “wong cilik”,” katanya.
Indikasi lainnya, kata I Gde Sudibya bahwa rakyat Bali tidak sejahtera dibalik bergelimangnya dollar di Bali adalah angka kemiskinan ekstrem paling tinggi, termasuk di Kabupaten “kaya” (pariwisata) Gianyar, demikian juga Buleleng dan Karangasem.
“Angka statistik yang menyatakan kemiskinan Bali 4 persen terendah secara nasional, melahirkan “jebakan” politik yang berupa upaya menutupi politik anggaran yang selama ini banyak keliru nya, katanya.
Dikatakan, bias ke bansos untuk tujuan elektabilitas, bukan untuk penciptaan kesempatan kerja produktif terutama di perdesaan, pemberdayaan UMKM, dan upaya serius mengungkit ekonomi rakyat.
Berikut ini Tantangan Kepemimpinan Bali (Gubernur, Bupati, Wali Kota plus DPRD) lima tahun mendatang.
1. Berempatilah kepada kepentingan rakyat, koreksi politik anggaran yang selama bias ke bansos untuk tujuan elektabilitas, ke program pemberdayaan ekonomi “wong cilik”.
2.Berhenti bermimpi dengan proyek mercu suar, yang merusak lingkungan, meminggirkan rakyat secara ekonomi dan kultural, dengan agenda terselubung untuk kepentingan keuangan personal.
3.Berhenti “menjual” Bali, melalui koreksi RTRW Bali 2023 – 2043, mengembalikan Tanah Bali sebagai Pertiwi yang sakral, membatasi ketat jual beli tanah sekadar komoditas ekonomi, dengan “law enforcement” ketat di lapangan.
4.Semestinya lebih berhati-hati dengan politik pecah belah, dalam ungkapan sederhana dalam bahasa Bali : “nyunjung satru, ngutang roaang”, memuja musuh, meninggalkan teman.
5 Kembali ke jati diri, tidak sebatas “tontonan” dalam industri Pariwisata yang sangat kapitalistik, dan kendalikan “sub kultur” negatif yang melahirkan watak: “belog ajum”, “mecik manggis”, “suryak siu” yang tidak cerdas dan lari dari tanggung jawab.
(Sut).