Ilustrasi

Denpasar, (Metrobali.com)-

Proyek tidak direncanakan dengan matang, “grasa – grusu” tanpa sosialisasi dan konsultasi publik yang bermakna. Dari pengamat kecenderungan masa depan diperoleh info: proyek ini punya risiko, “bernasib” sama dan bahkan bisa lebih buruk dari sejumlah proyek kontroversial seperti: KA Cepat Bandung – Jakarta, Bandara: Kulon Progo DI Yogyakarta, Kerta Jati Jawa Barat dan proyek IKN.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, ekonom, pengamat ekonomi dan kecenderungan masa depan, Senin 9 September 2024.

Menurutnya, dari kajian sederhana; risiko lingkungan, kelayakan ekonomi dan finansial, proyek ini punya risiko tinggi mangkrak.

Dikatakan, pendanaan proyek ini diperkirakan berasal dari proyek ambisius China, pembangunan Jalur Sutra Modern, yang lazim disebut BRI (Bridge Road Initiatives) dengan dana ratusan miliar dolar AS, pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, pusat logistik yang membentang dari Beijing sampai London dan kawasan negara sekitarnya.

Menurut I Gde Sudibya, dalam kasus KA Cepat Jakarta Bandung, risiko investasi tetap berada di pihak Indonesia, membebani APBN, kelayakan keuangannya tidak masuk akal, dengan jangka waktu pengembalian sekitar 100 tahun, 10 lintas generasi.

“Pesero Wijaya Karya yang mendapat penugasan dalam mengelola proyek ini terancam bangkrut. Semestinya Pemda Bali dan seluruh stake holders yang punya kepedulian buat BALI dan MASA DEPANNYA, mengambil langkah serius mengkritisi proyek ini, secara serius, bukan sambil lalu,” I Gde Sudibya.

Dikatakan, Risiko Tinggi untuk Bali dan Masa Depannya, dari Rencana MRT Bali.
Bali tidak mesti “milu-milu tuung” dengan proyek MRT, dengan sejumlah alasan mendasar.

Menurutnya, dari perspektif keyakinan metafisika, menggali “gumi” Bali dengan kedalaman ratusan meter, sudah mengacaukan atau merusak tatanan sraddha tentang 7 Lapisan Atas SAPTA LOKA, dan 7 lapisan bawah SAPTA PETALA, yang merujuk “sesuduk kayun” penting dalam melakoni kehidupan manusia Bali yang beragama Hindu.

” Ucapan sarat rokhani tentang “Tikeling Gentha Pinara hpitu”, Tikeling Gentha Apsara Pitu”, bermakna sakral dan “pingit” yang mewajibkan manusia Bali jangan “berjudi” dengan keyakinan ini,” katanya.

Menurutnya, pembangunan MRT dengan asumsi, wisatawan akan terus datang dalam kurun waktu yang panjang ke depan, prediksi terlalu menyederhanakan masalah.

Dikatakan, merujuk pemikiran sejarawan ternama dunia Yuval Noah Harari dalam bukunya HOMO DEUS, dinamika global begitu labilnya menjadi sulit untuk memprediksikan masa depan untuk 10 tahun ke depan. Sejarahwan kompeten, penulis buku SAPIENS yang mengulas sejarah perjalanan manusia sejak 4 juta tahun yang lalu.

Lebih lanjut dikatakan, menyimak sejarah Perang Dunia Pertama dan Kedua, kondisi yang berlangsung di daerah konflik: Timur Tengah, Eropa Timur bagian Barat, Semenanjung Korea, Selat Taiwan, Laut China Selatan yang berpotensi casus belli terjadinya Perang Dunia Ketiga, sehingga asumsi optimis untuk prediksi ke depan, perlu dihitung ekstra hati-hati.

Menurut I Gde Sudibya, pembangun proyek MRT ini secara transparan melakukan pelanggaran terhadap Pariwisata Budaya yang untuk pertama kali dirumuskan dalam Perda Pariwisata Budaya tahun 1974, dan sekaligus penundukan Bali oleh kapitalisme pariwisata yang bertali temali dengan kepentingan bisnis global.

“Dalam konteks sekarang, termasuk kapitalisme negara,oleh China dengan spirit komunisme,” katanya.

Menurut, pemimpin Bali dalam lima tahun ini telah gagal dalam pengelolaan pariwisata budaya. Semestinya dilakukan koreksi lebih serius, bukan sebaliknya menyerah kalah terhadap keserakahan kapitalisme pariwisata dengan sejumlah variannya.

“Fenomena Populisme Politik yang bercirikan jangka pendek, tanpa perspektif jangka panjang, pertimbangan elektabilitas,menjadi tantangan terbesar dalam agenda penyelamatan Bali dan masa depannya,” kata I Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, ekonom, pengamat ekonomi dan kecenderungan masa depan. (Sutiawan).