Diplomasi Ekonomi Jadi Bahasan Penting di HLF-MSP, Perkuat Komitmen Blended Finance untuk Pembiayaan Pembangunan Negara Berkembang
Foto: Amalia Adininggar Widyasanti selakuDeputi Bidang Ekonomi, Kementerian PPN/ Bappenas dalam keterangan pers di Media Center Pecatu Hall Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) pada Selasa 3 September 2024.
Badung (Metrobali.com)-
Forum Tingkat Tinggi Kemitraan Multipihak (High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships/HLF MSP) 2024 dan Indonesia-Africa Forum (IAF) 2024, yang digelar pada 1-3 September 2024 di Bali berlangsung sukses.
Amalia Adininggar Widyasanti selaku Deputi Bidang Ekonomi, Kementerian PPN/ Bappenas menjelaskan hasil dari forum ini khususnya terkait diplomasi ekonomi dalam Press Conference tentang outcome, recap and closing of the 2024 HLF-MSP Meeting di Media Center Pecatu Hall Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC) pada Selasa 3 September 2024.
Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan forum ini menjadi bagian diplomasi ekonomi di bidang perdagangan dan investasi serta menguatkan ekonomi di negara masing-masing di Global South atau Selatan-Selatan.
Dikatakan, pihaknya menyelenggarakan 12 sesi tematik yang bertujuan untuk membentuk kemitraan multistakeholder dengan berbagai tema spesifik yang bersifat transformatif. Tema utama HLF-MSP tahun ini adalah strengthening multistakeholder partnership towards transformative change.
“Jadi tentunya tema itu kemudian dilengkapi dengan thematic session. Seperti yang tema yang kita gunakan tentunya diskusi-diskusi selama dua hari ini lebih menggarisbawahi mengenai pentingnya terobosan-terobosan baru yang inovatif,” ujarnya.
Widyasanti menambahkan bahwa kerja sama South-South and Triangular Cooperation (SSTC) merupakan alat baru dalam diplomasi, yang akan melengkapi diplomasi ekonomi dengan pendekatan komprehensif. Diplomasi ekonomi, termasuk melalui SSTC, bertujuan untuk memajukan perdagangan dan investasi, dan memberikan keuntungan timbal balik, tidak hanya satu arah. Dengan demikian, Indonesia diharapkan memperoleh manfaat signifikan dari inisiatif diplomasi ini.
“Sehingga dengan demikian kerjasama Selatan-Selatan ini bukan hanya one way direction, one way benefit tetapi mutual benefit dimana Indonesia juga akan memperoleh keuntungan dari kita melakukan diplomasi ini,” katanya.
Lebih lanjut, Widyasanti menyatakan bahwa High-Level Forum on Multi-Stakeholder Partnerships (HLF-MSP) bertujuan untuk mempererat hubungan ekonomi antara Indonesia dan negara-negara Afrika, khususnya melalui kerjasama dalam perdagangan dan investasi. Pihaknya berharap, Indonesia dan negara-negara di Afrika serta negara-negara Global South lainnya dapat saling melengkapi dalam hal perdagangan. Hal ini diharapkan mendukung Indonesia dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045, serta mendorong aliran investasi antar negara-negara Selatan untuk memperkuat ekonomi masing-masing.
“Tentunya kita harapkan bahwa Indonesia, Afrika dengan negara selatan-selatan itu nantinya bisa saling melengkapi dalam hal trade, bisa mendukung Indonesia dalam melakukan transformasi untuk mencapai Indonesia Emas 2045. Dan kita bisa lebih mendorong aliran investasi di antara negara selatan-selatan ini untuk saling memperkuat ekonomi di negara masing-masing,” tuturnya.
Widyasanti kemudian menyoroti sesi tematik yang salah satu sesi berjudul “Connecting the South”. Tema ini menekankan pentingnya memperkuat kerja sama perdagangan antara negara-negara Selatan. Sesi ini juga bertujuan untuk meningkatkan konektivitas guna mendukung perdagangan di negara-negara berkembang, serta mempererat perdagangan antara negara-negara Selatan, bukan hanya antara Utara dan Selatan.
“Bahwa untuk memperkuat KSST maka syarat utamanya adalah kita perlu connecting the south yang melalui enhancing connectivity to support trade in developing countries. Jadi kita perlu memperkuat kerjasama perdagangan supaya kita tidak hanya perdagangan antara north and south, tapi kita juga harus bisa mempererat perdagangan antara south to south,” katanya.
Widyasanti menambahkan bahwa dalam upaya melakukan terobosan dan transformasi di negara-negara berkembang, tantangan utama yang dihadapi adalah pembiayaan. Salah satu tema yang dibahas adalah Blended Finance, yang bertujuan untuk mengisi kekurangan pendanaan dengan memobilisasi sumber pembiayaan alternatif dan inovatif. Blended Finance diharapkan menjadi solusi untuk melengkapi pembiayaan pembangunan yang tidak dapat sepenuhnya mengandalkan dana pemerintah.
” Nah, oleh sebab itu, Blended Finance sebagai salah satu alat untuk memobilisasi pembiayaan alternatif dan inovatif untuk mengisi gap pembiayaan yang dihadapi oleh negara-negara berkembang,” tuturnya.
Widyasanti juga mengungkapkan bahwa pada G20 tahun 2022, Indonesia mengusung inisiatif Global Blended Finance yang direncanakan akan berkembang menjadi organisasi dan komunitas internasional. Selain itu, Indonesia juga memberikan contoh konkret melalui Bali-Kerthi Development Fund (BDF), sebuah lembaga inovatif di tingkat provinsi yang mendukung implementasi transformasi ekonomi Kerthi Bali. BDF menjadi model bagaimana terobosan dalam pembiayaan dapat diterapkan di tingkat regional, bukan hanya nasional atau internasional, dengan skema dan struktur pembiayaan yang baru.
“Jadi BDF menjadi salah satu contoh konkret bagaimana terobosan pembiayaan itu bisa dilakukan di tingkat regional, tidak hanya di tingkat nasional atau internasional dengan skema maupun struktur pembiayaan yang baru,” ujarnya. (wid)