Refleksi Raina Tilem Karo, Simbolik Politik Kekuasaan dalam Itihasa Maha Baratha
Ilustrasi
Selasa, 3 September 2024, raina Tilem Karo, sasih Karo, Icaka 1946, berbarengan dengan “demam” politik menyongsong Pilkada Serentak 27 November 2024. Bercermin dari Pilpres dan Pileg 14 Februari 2024, yang begitu kumuh, Dirty Vote, pemilihan yang kotor, merujuk judul film dokumenter yang telah menjadi catatan sejarah kontemporer perjalanan demokrasi di negeri ini.
Dalam konteks di atas, rasanya pantas untuk melakukan perenungan dengan menyimak perang saudara Dinasti Kuru, antara Pandawa VS Kurawa di medan perang Kurusetra, dan pesan makna tentang: kekuasaan, kepemimpinan dan bekerjanya hukum karma.
Para pengawi di Bali, para dalang dan penggemar wayang pada umumnya, memahami dengan sangat baik, sebut saja karakter: Duryudana yang angkuh dan haus kekuasaan, Prabu Karna, satria tangguh pemegang prinsip kehidupan, Sakuni yang licik dan menghalalkan semua cara, Guru Drona, guru pintar tetapi begitu terikat dengan ambisi kekuasaan untuk anaknya Sakuni, Bhagawan Bhisma, yang begitu setia akan politik balas budi, walaupun harus melawan kehendak batinnya, Drestarata, raja peragu yang begitu mudah ditaklukkan oleh ambisi dan muslihat istrinya.
Pada sisi yang bersebarangan, ada Prabu Krishna, diyakini sebagai reinkarnasi Tuhan Wisnu, Cri Narayana. Dalam teologi disebut dengan “the source of consiousness”, sumber kesadaran, nama lain dari Tuhan Cri Narayana. Arjuna, kesatria cerdas nan gagah berani, murid spiritual dari Prabu Krishna. Dalam teologi, makna Arjuna adalah simbol insan manusia yang mencoba untuk mencapai kesempurnaan kehidupan. Gatotkaca, Abimanyu, karakter kesatria pembela kehormatan keluarga, pemegang teguh Dharma, berkorban “at all cost”, jiwanya sendiri. Kesatria pembela negeri, gugur sebagai kusuma bangsa, dan menjadi penghuni Sorga yang terhormat.
Sebagai penganut agama Hindu, Sanatana Dharma (aliran kebenaran yang abadi), para politisi dan tim suksesnya yang secara normatif adalah SATRIA DHARMA, kesatria pembela DHARMA. Dharma dalam pengertiannya yang holistik: aturan etika moral, undang-undang, dan hukum agama itu sendiri.
Gelising cerita,
semeton Bali umumnya memahami dengan baik, “makna dibalik peristiwa” upkara pengabenan, di Bali Pegunungan disebut sebagai “ngewangun”, “metuun”, bermakna: semua rokh pada umumnya masuk sorga, lengkap dengan simbol Pura yang yang mengkonfirmasi keyakinan tsb.
Mereka memahami bekerjanya hukum karma, dan mereka umumnya merasakan buah karma baik (sancita karma) dari para leluhur pasca upakara “metuun” yang sederhana dan kaya makna.
Mereka juga umumnya memahami, proses upakara penuh “ketegangan” dari proses penuh kehinaan dari mereka yang akan menjadi penghuni neraka. Sehingga bagi krama Bali yang sadar, punya kesadaran, keyakinan Sorga dan Neraka, buat keyakinan yang di awang-awang, tetapi kesadaran diri harian yang melahirkan perbuatan baik -Subha Karma-.
Momentum yang baik untuk berefleksi di menjelang Pilkada Serentak 27 November 2024.
Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma), Paguyuban Intelektual Hindu.