Foto: Gede Ngurah Ambara Putra, Anggota DPD RI Perwakilan Bali.

Jakarta (Metrobali.com)-

Di tengah riuhnya pertemuan-pertemuan di gedung-gedung megah ibukota, sebuah sidang penting Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) digelar, dengan semangat untuk menuntaskan tugas-tugas krusial di akhir masa sidang V Tahun Sidang 2023-2024. Sejak tanggal 12 Agustus hingga 30 September 2024, para anggota DPD RI berkumpul, membawa suara-suara dari berbagai pelosok negeri, merangkai pandangan demi pandangan menjadi sebuah keputusan yang akan mempengaruhi kehidupan rakyat.

Di hadapan isu-isu strategis yang dibahas, terdapat satu agenda utama yang menjadi sorotan: pembahasan 25 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang secara langsung berdampak pada kehidupan di kabupaten dan kota, termasuk di wilayah-wilayah yang indah namun penuh tantangan seperti Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Bengkulu, dan Sumatera Selatan.

“Salah satu agenda utama dalam sidang ini adalah pandangan terhadap 25 Rancangan Undang-Undang (RUU) yang terkait dengan Kabupaten/Kota, termasuk daerah-daerah di Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Bengkulu, dan Sumatera Selatan,“ kata Ambara Putra, anggota Komite I DPD RI, dalam siaran persnya, Kamis 15 Agustus 2024 yang memberikan pandangannya mengenai beberapa aspek kunci dalam RUU tersebut.

Gede Ngurah Ambara Putra, Anggota DPD RI Perwakilan Bali, seorang Senator yang berdedikasi, berdiri dengan penuh keyakinan, menyuarakan pandangannya tentang pentingnya perubahan yang bijak dan terarah. Dalam pandangannya yang penuh keprihatinan, Senator Ambara menyinggung tentang RUU Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Di Bali, pulau yang begitu terkenal dengan pesona alam dan budayanya, pariwisata menjadi denyut nadi ekonomi.

Namun, di balik keindahan itu, terselip ancaman yang mengintai: praktik-praktik ilegal yang mengusik ketenangan warga. Senator Ambara menekankan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap undang-undang yang ada, melibatkan pemerintah daerah dan kepolisian di setiap level, mulai dari desa kecil hingga kecamatan yang luas, demi menjaga kedamaian yang berharga.

Beralih ke topik lain yang tak kalah penting, Senator Ambara membahas lemahnya koordinasi dalam penanganan masalah narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika seharusnya menjadi tameng yang kuat, namun nyatanya, berbagai instansi terkait masih bergerak sendiri-sendiri, tanpa sinergi yang kokoh.

Ia menekankan pentingnya regulasi yang lebih tegas dan jelas, yang mampu menyatukan upaya dari pemerintah provinsi, kabupaten/kota, Badan Narkotika Nasional (BNN), hingga kepolisian, dalam menghadapi ancaman narkotika yang merusak.

Tak berhenti di situ, perhatian Senator Ambara juga tertuju pada alokasi Dana Desa dan program “Desa Bersinar” yang diinisiasi untuk mencegah penyalahgunaan narkotika di tingkat desa. Meski anggaran desa telah dialokasikan setiap tahun, pelaksanaan program ini masih jauh dari harapan.

Sebuah ironi yang pedih, karena belum adanya regulasi yang mendukung alokasi dana tersebut untuk tujuan yang mulia ini. Senator Ambara menyuarakan harapannya akan hadirnya kerangka regulasi yang mampu mendorong desa-desa di seluruh negeri untuk benar-benar bersinar, bebas dari jerat narkotika.

Sidang ini adalah cerminan dari tekad DPD RI untuk menghadirkan perubahan nyata. Setiap keputusan yang diambil, setiap pandangan yang disuarakan, adalah upaya untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mereka berharap, hasil dari sidang ini akan menjadi pijakan yang kuat dalam merumuskan kebijakan yang lebih adil, mendukung pembangunan, dan mencegah permasalahan sosial yang terus menghantui negeri ini, khususnya di daerah-daerah yang menjadi fokus perhatian.

Semoga harapan-harapan ini tidak hanya menjadi catatan di atas kertas, tetapi juga menjadi kenyataan yang membawa kebaikan bagi semua. (wid)