Denpasar (Metrobali.com)-

Memasuki 79 tahun usia kemerdekaan, negeri ini menyaksikan “drama” politik spektakuler dalam satu tahun terakhir, berupa tirani kekuasaan, kekuasaan yang sewenang-wenang terhadap ukuran etika -moralitas politik, konstitusi dan aneka ragam menyimpangan dan “penelikungan” terhadap aturan dan juga kepantasan sosial.

Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, pengamat sosial ekonomi, Jumat 16 Agustus 2024.

Dikatakan, kekuasaan saat ini melahirkan IRONI KEBANGSAAN, menyebut beberapa, pertama, demokrasi menuju ke titik nadirnya, akibat perilaku politik sebatas instrumen dalam industri kekuasaan, upaya melanggengkan kekuasaan -power to feed power-.

Kedua, oligarki begitu jumawa menguasai negeri, the facto mereka yang berkuasa, “menunggangi” kekuasaan pemerintahan yang “seolah-olah”demokrasi.

Ketiga, terjadi ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan sosial yang dashyat, belasan usaha konglomerasi menguasai kekayaan negeri, kemudian berhadapan “face to face” dengan puluhan juta warga miskin, yang setiap hari bergelut dengan upaya sebatas “dapur ngebul”, bisa menyekolahkan anak, menjaga kesehatan dalam kondisi marginal.

Keempat, telah terjadi kerusakan lingkungan alam yang dashyat, terutama di kawasan pertambangan: Batubara, Nikel, dan kawasan industri sawit, berbarengan dengan jutaan warga adat terpinggirkan di “rumah mereka sendiri”.

Kelima, terjadi elegi kemiskinan, kemiskinan yang “dipertontonkan”, yang kemudian “dibeli” melalui dana negara untuk tujuan elektabilitas politik meraih kembali kekuasaan.

“Kemiskinan yang “dibiarkan” penguasa, bukan dientaskan secara serius melalui pembangunan pro rakyat (yang dananya tidak dikorupsi)”.

Keenam, prasangka sosial: mayoritas – minoritas, penduduk lokal – pendatang, prasangka SARA dibiarkan bertumbuh, untuk menyuburkan populisme politik, guna meraih kemenangan politik dengan menghalalkan semua cara, “at all cost”, termasuk “biaya” retaknya nilai-nilai kebangsaan -spirit of nationhood-.

Indonesia jangan seperti Pakistan. “Inilah tantangan bagi ekonom humanis ini untuk menjawab tantangan bangsanya yang dikenal berwatak “keras”, mungkin akibat kemiskinan struktural yang berlangsung lama, lintas generasi,” katanya.

Ekonom lulusan Vanderbeilt University AS ini, pengagum keindahan lembah Sungai Indus dari Chitagong tempat kelahirannya Pakistan Timur, sebelum berpisah dari Pakistan.

“Semoga ekonom pemenang hadiah Nobel Perdamaian tahun 2006, yang telah berusia 84 tahun ini diperhatikan kekuatan untuk menyelamatkan bangsanya. Sepak terjangnya membela kaum miskin, mengingatkan kita akan peran sejarah kemanusiaan dari orang suci dari Calcuta India Bunda Theresa,” kata I Gde Sudibya, pengamat sosial ekonomi. (Sutiawan)