“Pembajakan ” Demokrasi, Pasca 26 tahun Reformasi
Pengunduran Airlangga Hartarto sebagai Ketum Golkar secara mendadak dengan alasan tidak terlalu jelas, melahirkan berbagai ragam spekulasi publik. Yang paling santer, ada dugaan ybs.mengalami “penyanderaan” politik, akibat dugaan kasus hukum yang menimpanya. Semakin memperkuat sinyalemen, hukum dijadikan instrumen politik untuk menekan lawan politik dan atau “alat tukar menukar” dalam transaksi kekuasaan. Fenomena ini, semakin memberikan pembenaran terhadap ucapan seorang pakar hukum pidana UI, “hukum menjadi instrument rekayasa sosial untuk memperpanjang kekuasaan dengan melanggar etika”.
Kasus Airlangga ini, mengindikasikan partai politik begitu rapuhnya berhadapan dengan kekuasaan dan atau “vested interest” di sekitar kekuasaan. Partai Golkar yang punya pengalaman panjang dalam kekuasaan, “meniti buih” di seputar kekuasaan, mempunyai sumber daya memadai, sehingga menjadi suprise, begitu mudah “dijebol” oleh kekuatan yang berada di luar dirinya. Timbul pertanyaan, partai sebesar Golkar yang punya “politic comparative advantage” kuat, begitu mudah “dikerjain” oleh kekuatan luar, bagaimana dengan partai yang lebih kecil dengan pengalaman berpolitik yang lebih terbatas?.
Peristiwa yang sedang menimpa Golkar, hanya babak lanjutan saja dari proses “pembajakan” demokrasi dalam satu tahun terakhir. “Babak” sebelumnya, pertama, PELANGGARAN KONSTITUSI dengan terbitnya Keputusan MK No.90 yang kontroversial itu. Kedua, penggunaan dana bansos untuk kepentingan pemenangan Pilpres, yang menurut sejumlah pengamat dinilai sebagai korupsi politik. Dari riset ekonomitri yang dilakukan oleh seorang ekonom dari UI yang disampaikan dalam persidangan MK tentang pokok perkara perselisihan hasil Pilpres, “bansos effect” sebesar 16 persen untuk pemenangan kandidat 02.
Pengunduran diri Airlangga Hartarto dari Ketum Golkar yang secara tiba-tiba ini, semacam pembuka “kotak pandora” dari “pembajakan” Demokrasi yang sedang berlangsung.
Sejarah sedang menguji tingkat kesabaran rakyat dalam “Pembajakan” Demokrasi yang sedang berlangsung, dan tingkat keberanian dan kecerdasan elite politik untuk memberi respons.
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi politik, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004.