Insiden Helikopter Jatuh di Seputaran GWK, Momentum Menyimak Kembali “Kepingitan” Pulau Dewata
Badung, (Metrobali.com)
Sekadar mengingatkan kembali, kontroversi pendirian GWK di kawasan Bukit Pecatu, dengan alasan keberatan dari perspektif ruang Bali. Kawasan Pecatu, berada di Nreti (Barat Daya) Pulau Bali, dalam sistem keyakinan Bali disimbolikkan dengan Bunga Padma berkelompok 8 dengan pemujaan Tuhan Rudra. Sedangkan Garuda Wisnu, simbolik pemujaan Tuhan Wisnu, sehingga menjadi kurang tepat dibangun di “palebahan” pemujaan Tuhan Rudra.
Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, pendiri, sekretaris LSM Kuturan Dharma Budaya, Jumat 2 Agustus 2024, mengomentari berita helikopter terlilit tali layang layang di seputaran Bali Selatan.
Dikatakan, dalam diskusi terbatas tentang lokasi, seorang akhli lontar menyarankan tempat di GWK di wilayah Utara Bali, dengan alternatif pilihan lokasi: Bukit Tinga-Tinga sebelah Barat Seririt, Desa Mengening, Kecamatan Kubutambahan (perbatasan Buleleng – Bangli) atau di Toya Mampeh di sisi Gunung Batur (tempat dinilai paling ideal), GWK sebagai simbolik “luar”, pemujaan Tuhan Wisnu di Utara Pulau Bali.
“Menyimak begitu tersendatnya pembangunan proyek ini di masa awalnya, tidak sedikit pengamat berpendapat tentang “kepingitan” pulau Bali, yang harus dipertimbangkan dalam design ruang pulau Bali, dan dampaknya secara spiritual – kultural buat masyarakat,” katanya.
Ke depan, kata Gde Sudibya, pengaturan ruang Bali semestinya dilakukan lebih hati-hati dan bijak, mengikuti Bhisama Kesucian Pura PHDI yang telah menjadi aturan normatif dalam Perda RTRW Bali. Untuk menghindarkan terjadinya risiko yang semestinya bisa diantisipasi sejak awal, sekaligus untuk menjaga “taksu” Bali.
“Dengan pengaturan ruang yang sembrono dan semena-mena, apakah taksu Bali akan terjaga dan wisatawan masih mau berkunjung?,” katanya.
Gelising cerita, Canggu sekarang diserbu wisatawan, tanpa hamparan sawah nan hijau, wisatawan masih mau datang ke Canggu? Rasanya kok tidak, tandas Jro Gde Sudibya, pendiri, sekretaris LSM Kuturan Dharma Budaya.
Di masa depan, lanjut Jro Gde Sudibya pembangunan gedung bertingkat di Jaba Sisi Pura Manik Mas,” hanya berjarak sekitar 100 meter, ngungkulin” Pura Titi Gonggang, “menghempang” “sesuduk kayun” Pura Dalem Puri dengan Penataran Agung, yang “dimotori” Gubernur Koster, yang melanggar kosmologi ruang bentang alam Besakih: Tukad Telaga Waja —-Giri Toh Langkir, bertentangan dengan Bhisama Kesucian Pura PHDI yang telah menjadi ketentuan normatif dalam Perda RTRW Bali, seharusnya menjadi “proyek” pertama dan terakhir yang “menyiksa” ruang kesucian Bali. (Sutiawan)