Foto: Politisi Golkar yang juga Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali Gde Sumarjaya Linggih yang akrab disapa Demer.

Denpasar (Metrobali.com)-

Politisi Golkar yang juga Anggota Komisi VI DPR RI Dapil Bali Gde Sumarjaya Linggih yang akrab disapa Demer angkat bicara mengenai belum jelasnya Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Bali dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus dalam menghadapi Pilgub Bali 2024.

Di sisi lain muncul wacana kemungkinan koalisi merah-putih antara PDI Perjuangan dengan Partai Gerindra pasca pertemuan antara Ketua DPD PDI Perjuangan Bali Wayan Koster dengan Ketua DPD Partai Gerindra Bali Made Muliawan Arya alias De Gadjah. Jika koalisi itu terjadi maka Pilgub Bali kemungkinan besar akan terjadi kotak kosong.

Dengan dinamika itu, Anggota Fraksi Golkar DPR RI itu menegaskan apapun bisa terjadi termasuk kemungkinan koalisi Golkar dengan PDI Perjuangan sehingga juga memungkinkan terjadi melawan kotak kosong.

Menurutnya, yang paling penting adalah tiga hal, yakni yang pertama, melihat dan memenuhi keinginan masyarakat, kedua, memastikan bahwa kolaborasi tersebut mampu memenangkan hati masyarakat, dan yang ketiga, ketika kolaborasi berhasil memenangkan hati masyarakat, memastikan bahwa aspirasi masyarakat dapat disalurkan dengan baik demi kesejahteraan yang lebih baik. Demer yakin bahwa dengan pendekatan ini, Golkar dapat berperan lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Yang penting itu adalah satu, keinginan masyarakat yang kita lihat. Yang kedua, tentu apakah itu nanti kolaborasi itu mampu memenangkan hati masyarakat. Yang ketiga, ketika mampu nanti memenangkan hati masyarakat, apakah mampu kita nantinya menyalurkan aspirasi dari masyarakat itu untuk kepentingan kesejahteraan yang lebih baik,” ujar wakil rakyat berlatar belakang pengusaha sukses dan mantan Ketua Umum Kadin Bali itu.

Demer menambahkan bahwa sejak awal ia telah menyampaikan bahwa Golkar atau Kim Plus selama ini masih menunggu situasi, kondisi, dan keadaan. Ia juga menekankan pentingnya memperhatikan budaya dan keinginan-keinginan masyarakat. Oleh karena itu, Golkar akan mencari sumber-sumber informasi, salah satunya melalui survei, untuk lebih memahami aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

“Dari awal saya sampaikan bahwa Golkar atau Kim Plus yang dibina selama ini, saya sudah sampaikan bahwa kita masih menunggu situasi, kondisi, keadaan. Kemudian budaya, kemudian juga tentang keinginan-keinginan masyarakat. Bahkan Golkar nantinya akan mencari sumber-sumbernya itu salah satunya dari survei,” ujar wakil rakyat yang sudah empat periode mengabdi di DPR RI memperjuangkan kepentingan Bali itu.

Namun untuk Pilgub Bali masih belum jelas calon yang akan diusung dari KIM Plus, walaupun sebelumnya sudah ada paket Mantra-Mulia, akan tetapi belakangan ini paket tersebut seakan-akan tenggelam. Bahkan belakangan muncul wacana paket Cantiasa-Mulia. Terkait dinamika tersebut Demer mengatakan bahwa akan ada kejutan untuk calon yang akan diusung Golkar maupun KIM Plus. Demer juga tidak menampik bahwa ada kemungkinan Golkar mendukung petahana Wayan Koster.

“Ada kejutan. Kejutannya bisa jadi dengan Pak Koster, bisa jadi dengan ada calon baru yang kita akan sampaikan,” tegas politisi Golkar yang kembali terpilih di DPR RI untuk kelima kalinya hasil Pileg 2024 ini.

Artinya jika kejutan yang dimaksud tersebut adalah mendukung Wayan Koster maka kemungkinan Pilgub Bali 2024 akan menghadirkan kotak kosong. Terkait hal ini Demer mengatakan bahwa itu tidak menutup kemungkinan karena juga merupakan bagian dari demokrasi yang dianut selama ini.

“Tidak menutup kemungkinan karena itulah demokrasi yang kita anut sekarang yang memungkinkan hal itu terjadi,” ungkap wakil rakyat yang dikenal banyak membantu pemberdayaan UMKM di Bali itu.

Kemudian terkait dengan narasi yang menyebut kotak kosong itu dosa demokrasi, Demer mengatakan bahwa kotak kosong tersebut tidak haram dalam konteks demokrasi. Menurutnya, jika seseorang tidak ingin kotak kosong, maka mereka harus mencalonkan seseorang.

Namun, Demer menyoroti bahwa mencalonkan seseorang memerlukan biaya, seperti cost politik untuk membayar saksi, baliho, dan lainnya. Sebagai contoh, untuk Pilkada gubernur, biaya politik minimal bisa mencapai 10 miliar rupiah 15 miliar rupiah hanya untuk biaya saksi dan alat peraga seperti baliho.

“Enggak, enggak ada haramnya, terus kalau enggak mau kotak kosong, ya oke ada orang ngomong bahwa harus kita keluarkan calon, siapa yang mau biayain, mau biayain gak dia itu, kalau mau biayain setengahnya aja, ini cost politik yang saya bilang tadi, bahwa untuk cost politik, bukan money politik ya, kita cost politik, bayar saksi, baliho dan sebagainya itu, kalau di gubernur minimum 15, anggaplah irit-irit 10 miliar. Yang ngomong suruh biayain kalau memang mau bikin calon abal-abal,” pungkas politisi Golkar asal Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng itu.