Membangun Kedaulatan Pangan Lewat Budaya Lokal di Nusa Tenggara Timur
Direktur Kepercayaan TYME dan Masyarakat Adat, Syamsul Hadi
Lembata (Metrobali.com) –
Masyarakat adat yang tersebar di kepulauan Indonesia secara turun-temurun telah menjadi penjaga budaya pangan yang kaya dan beragam. Budaya pangan ini merupakan perpaduan pengetahuan lokal yang terbentuk melalui proses pembelajaran dan adaptasi terhadap kondisi alam yang khas, baik di darat, pesisir, maupun laut.
Lebih dari sekadar sistem produksi dan konsumsi, budaya pangan masyarakat adat membentuk pandangan hidup serta sistem budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya pangan ini terintegrasi dengan kepercayaan, adat istiadat, ritual, bahkan menjadi ritus kehidupan masyarakat adat.
Pernyataan ini disampaikan oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, melalui Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Esa dan Masyarakat Adat, Sjamsul Hadi, saat bertemu puluhan fasilitator Sekolah Lapang Kearifan Lokal (SLKL) dan Pandu Budaya di tiga kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Hadi menjelaskan bahwa Indonesia dikenal memiliki keberagaman sumber pangan yang sangat tinggi.
Data dari Badan Ketahanan Pangan menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis sumber minyak atau lemak, 26 jenis kacang-kacangan, 389 jenis buah-buahan, 228 jenis sayuran, serta 110 jenis rempah dan bumbu.
Keberagaman sumber pangan ini, yang tersebar di berbagai kepulauan, melahirkan budaya pangan yang beragam.
Untuk itu, Sekolah Lapang Kearifan Lokal (SLKL) yang merupakan program Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Esa dan Masyarakat Adat, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbudristek, berusaha menjangkau daerah terpencil dan pulau-pulau terluar di Nusa Tenggara Timur.
“Pada tahun 2024, Sekolah Lapang Kearifan Lokal (SLKL) digelar di 14 pulau terluar dan pesisir di Kabupaten Sikka, Kabupaten Flores Timur, dan Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Selain mendata 10 Objek Pemajuan Kebudayaan, SLKL yang melahirkan Pandu Budaya akan menjadi agen untuk kampanye kedaulatan pangan lokal,” ungkap Hadi.
Yani Haryanto, Pamong Budaya Ahli Muda Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, menjelaskan bahwa para Pandu Budaya yang mendapat pelatihan melalui Sekolah Lapang Kearifan Lokal tahun 2024 akan disebar di tiga kabupaten dan 14 pulau kecil di Kabupaten Alor, Kabupaten Sikka, dan Kabupaten Flores Timur.
“Sekolah Lapang Kearifan Lokal (SLKL) tahun 2024 akan dilaksanakan di 3 kabupaten dan 14 pulau kecil. Para Pandu Budaya, didampingi fasilitator, akan terlibat dalam kegiatan temu kenali SLKL dan penggalian obyek pemajuan kebudayaan di Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Pantar, Pulau Pura, Pulau Ternate, Pulau Buaya, Pulau Lapang, Pulau Kajodai, Pulau Parumaan, Pulau Pemana, Pulau Pangamana, dan Pulau Babi serta beberapa pulau lain yang tersebar di tiga kabupaten ini,” ungkap Yani.
Menurut Yani, membangun kedaulatan pangan harus menjadi gerakan bersama yang dimulai dari kedaulatan pikiran, karena pangan bukan hanya tentang konsumsi tetapi juga budaya. Oleh karena itu, kedaulatan pangan akan berhasil jika dimulai dari kedaulatan pikiran masyarakat adat.
“Mendokumentasikan keberagaman pangan, memproduksi, mengolah, dan menyajikan makanan juga merupakan bagian dari budaya. Pangan menjadi bagian penting dari budaya orang Indonesia. Indonesia memiliki keragaman sumber pangan, dan karena masyarakat adat di pulau-pulau kecil mampu menjaga keragaman pangan lokal, maka NTT menjadi front dari kedaulatan pangan melalui program SLKL,” tutup Yani. (WID)