Kemiskinan “Marak” di Gianyar, Bak Kata Pepatah “Ayam Mati di Lumbung Padi”
Denpasar, (Metrobali.com)-
Beredar di medsos liputan jurnalistik bertajuk: ” 131 Anak Terlantar di Gianyar, dan Ribuan Menjadi Fakir Muskin”.
Berita surprise mengejutkan, diikuti oleh pertanyaan kritis, kok bisa terjadi, di wilayah yang menerima limpahan kemakmuran akibat industri pariwisata mengalami kemiskinan akut?
Menurut I Gde Sudibya, pendiri dan sekretaris LSM Kuturan Dharma Budaya, dari studi pembangunan dan bahkan juga pendekatan antropologi, barangkali bisa diberikan penjelasan (tentatif) tentang maraknya fenomena kemiskinan di Gianyar menciptakan realitas sosial memalukan bak kata pepatah: “Ayam Mati di Lumbung Padi”.
Dikatakan, munculnya kemiskinan tersebut pertama, penyusunan prioritas anggaran, yang merupakan operasionalisasi politik anggaran di Pemda Gianyar, agaknya kurang memihak kepentingan “wong cilik”, sehingga akibatnya program penanggulangan kemiskinan menjadi program sambil lalu dan setengah hati.
Kedua, lanjutnya, program bansos dan sejenisnya kurang direncanakan dengan matang, untuk membantu kelompok marginal dan penciptaan kesempatan kerja produktif di kelompok ini.
” Publik mempertanyakan alokasi anggaran yang dinilai kurang tepat, karena diduga dikaitkan dengan upaya “penghindaran” yang berkaitan dengan kasus hukum, yang menekan anggaran bagi upaya memperbaiki standar kehidupan bagi masyarakat marginal,” katanya.
Ketiga, lanjut I Gde Sudibya, secara antropologi, mungkin saja ada perasaan bawah sadar sementara pengambil kebijakan publik, cara berpikir feodal, kemiskinan adalah nasib dan karma mereka yang miskin, mereka yang harus menanggung akibatnya, sehingga negara tidak perlu terlalu ikut campur.
“Ini merupakan cara berpikir yang keblinger. Padahal sesuai dengan konstitusi, pasal 35 UUD 1945 negara mengatur: “Fakir Miskin dan Anak-Anak Terlantar Dipelihara Negara,” katanya.
Menurut Sudibya ini adalaj antangan bagi elite di Gianyar: eksekutif, legislatif, untuk medesign ulang kebijakannya, sehingga “nikmat” pariwisata, terdistribusikan lebih adil bagi krama Gianyar. (Sutiawan-Metrobali)