Gus Adhi Blak-Blakan Bongkar Tiga Dosa Demokrasi: Kotak Kosong, Politik Uang, dan Penyelenggara Mandul “Haram” Terjadi di Pilkada Serentak Bali
Foto: Politisi Golkar yang juga Anggota Komisi II DPR RI Dapil Bali Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra (Amatra) yang akrab disapa Gus Adhi membongkar 3 dosa demokrasi.
Denpasar (Metrobali.com)-
Politisi Golkar yang juga Anggota Komisi II DPR RI Dapil Bali Anak Agung Bagus Adhi Mahendra Putra (Amatra) yang akrab disapa Gus Adhi membeberkan ada tiga dosa demokrasi yang tidak boleh terjadi di Pilkada Serentak 2024 ini termasuk di Bali. Yakni kotak kosong, politik uang dan penyelenggaran mandul. Ketiga dosa demokrasi ini sangat haram terjadi dan terulang kembali di Pilgub Bali maupun Pilbup dan Pilwali dalam Pilkada Serentak di Bali.
Lebih lanjut Gus Adhi menyatakan bahwa hajatan demokrasi adalah langkah awal menuju pembangunan yang lebih baik di masa depan. Menurutnya, dalam menyikapi kekurangan dalam proses demokrasi, kesadaran penuh diperlukan bahwa melahirkan pemimpin di masa depan membutuhkan parameter-parameter yang jelas.
“Jadi, menyikapi dosa-dosa demokrasi, kita harus sadar sepenuhnya bahwa melahirkan pemimpin ke depan memerlukan parameter-parameter yang jelas,” kata Anggota Fraksi Golkar DPR RI Dapil Bali ini saat ditemui di kediamannya di Jero Kawan, Kerobokan Badung pada Selasa 21 Mei 2024.
Gus Adhi kemudian menyoroti tiga dosa demokrasi yang tidak boleh terjadi di muka bumi ini. Pertama, adanya kotak kosong dalam pemilu mencerminkan kegagalan partai politik dalam menghasilkan kader yang mampu memimpin masa depan. “Pilkada melawan kotak kosong menunjukkan bahwa partai politik tidak berhasil menyiapkan calon yang kompeten dan layak untuk dipilih, sehingga merugikan proses demokrasi itu sendiri,” tegasnya.
Yang kedua, praktik politik uang atau money politic dianggap sebagai masalah serius karena menghambat lahirnya pemimpin yang bersih dan jujur. Praktik ini tidak hanya melanggar undang-undang pemilu, tetapi juga asas pemilu yang mengedepankan kejujuran dan integritas. Gus Adhi menekankan bahwa politik uang merusak moralitas dan integritas pemilu, sehingga sangat penting untuk mencegahnya agar pemimpin yang terpilih benar-benar berkomitmen pada peraturan dan etika yang berlaku.
“Karena mengapa? Dia telah melanggar undang-undang, melanggar undang-undang pemilu yang juga melanggar asas pemilu. Nah, ini cedera banget. Ini tidak boleh terjadi,” kata wakil rakyat yang sudah dua periode mengabdi di DPR RI memperjuangkan kepentingan Bali ini.
Kemudian yang ketiga, Gus Adhi menyoroti penyelenggara pemilu yang tidak efektif atau mandul. Dalam hal ini adalah ketika terjadinya pelanggaran justru tidak ditindaklanjuti dengan tegas. Menurutnya, penyelenggara pemilu harus lebih proaktif dalam menemukan dan menindak pelanggaran, bukan hanya menunggu laporan dari pihak lain.
Selain itu, penyelenggara juga memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan politik kepada generasi penerus dan masyarakat umum. Pendidikan politik ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon legislatif atau peserta dalam Pilkada dan Pilgub.
“Nah ini yang harus dibangun. Jangan biarkan tiga dosa politik, tiga dosa demokrasi ini terulang dalam hajatan pilkada dan Pilgub ke depan,” kata politisi Golkar yang juga salah satu inisiator lahirnya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali dan berhasil mengawal penuh hadirnya payung hukum untuk Provinsi Bali ini hingga diakuinya subak dan desa adat di Undang-Undang Provinsi Bali ini
Gus Adhi mengungkapkan, kegagalan demokrasi pada Pileg dan Pilpres 2024 sudah terbukti dari penilaian berbagai pihak, tidak hanya dari peserta yang kalah, tetapi juga dari pihak yang menang dan orang-orang yang tidak ikut serta dalam pemilu. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa kegagalan tersebut diakui oleh berbagai kalangan, termasuk aktivis dan ahli hukum. Gus Adhi menekankan bahwa situasi ini harus menjadi pelajaran berharga dan catatan penting yang tidak boleh terulang dalam pelaksanaan Pilkada Kabupaten/Kota dan Pilgub 2024.
“Artinya apa? Artinya kegagalan demokrasi kita di Pileg dan Pilpres 2024 sudah terbukti oleh ungkapan dari pihak-pihak yang tidak berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilu ini. Begitu juga disampaikan oleh aktivis, ahli hukum dan sebagainya. Ini merupakan pelajaran. Dan itulah catatan yang kita torehkan dengan tinta emas, yang tidak boleh terjadi di Pilkada dan Pilgub di 2024,” tuturnya.
Gus Adhi berharap agar pemilu mendatang bisa melahirkan pemimpin-pemimpin dan kepala daerah yang mampu membangun daerahnya berdasarkan visi dan misi yang jelas, menuju kebangkitan dan kemajuan daerah masing-masing. Ia menekankan pentingnya adanya warisan atau legacy dalam setiap kepemimpinan yang dijalankan oleh seorang pemimpin.
“Harus ada legacy dalam setiap kepemimpinan yang dilaksanakan oleh seorang pemimpin,” harap wakil rakyat berhati mulia, gemar berbagi dan dikenal dengan spirit perjuangan “Amanah, Merakyat, Peduli” (AMP) dan “Kita Tidak Sedarah Tapi Kita Searah” ini.
Kemudian terkait dengan munculnya istilah “calon boneka”, khususnya di Denpasar, Gus Adhi mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan istilah “calon boneka” tersebut. Gus Adhi lebih menekankan pada pentingnya memberikan contoh dan pembelajaran yang baik kepada generasi muda, terutama mengingat bahwa pada tahun 2024, 52% pemilih adalah anak muda. Menurutnya, memberikan contoh yang buruk kepada generasi penerus dapat membahayakan masa depan demokrasi dan bangsa.
“Jika saat ini kita memberikan contoh yang tidak baik kepada generasi penerus kita, anak-anak muda kita, coba kita bayangkan masa depan demokrasi kita, masa depan bangsa ini, apa yang akan terjadi kalau ini kita biarkan, kalau ini kita berikan contoh yang buruk kepada generasi muda kita,” pungkas Gus Adhi. (wid)