Bali Sebagai Pulau Anugrah, Sampai Kapan Bertahan? : “Ngayah” Alat Politik, Slogan Palsu, Penuh Kemunafikan
Denpasar, (Metrobali.com)-
Slogan Bali sebagai pemberi anugerah, memperoleh pembenaran sejarah dan sosiologis. Disebut demikian, karena di masa yang lalu, karakter dan kultur masyarakat Bali, sebagai “pemberi” lingkungan kehidupan. Masyarakat lebih banyak “memberi” dari pada “mengambil”.
Hal itu dikatakan I Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma), Sabtu 6 April 2024.
Dikatakan, Raja terkenal Bali di abad Bali Pertengahan, diberikan gelar oleh rakyatnya “Asta Sura Bumi Banten”, seorang raja dengan 8 keutamaan, dimana rakyatnya bercirikan “mebanten”, totalitas “memberi”dalam kehidupan.
Sehingga untuk sederhananya, lanjut Gde Sudibya, Alam Bali penuh “berkelimpahan” dari warga penghuninya.
“Dalam prasasti tertua Bali, Prasasti Desa Sukawana tertulis (dalam konteks ke kinian), “kedatangan Kita ke dunia ini adalah keutamaan dan kemuliaan, sehingga laksanakan keutamaan dan kemuliaan ini dalam ke seharian kehidupan,” katanya.
Menurutnya, Bali yang “berkelimpahan” ini, melahirkan: keunikan, “ketengetan”, “manik” dan “taksu” dengan implisit kesucian terkandung di dalamnya.
“Bagaimana Pulau Pemberi Anugrah ini mampu bertahan, dimana sebagian (besar) penghuninya berperilaku diametral dengan etika dan ethos kerja sebelumnya?”
Mengambil beberapa contoh saja, kata Gde Sudibya, pemimpin pada seluruh lapisan, tidak lagi pemberi suri teladan, “sesuluh”, “titi pengancang” buat masyarakat.
Menurutnya, Ethos dan kultur “memberi”, berganti “wajah” menjadi: “mengambil” dan bahkan (maaf) “mencuri”. Akibatnya lingkungan alam rusak, demikian juga lingkungan sosial.
“Memberi (baca: “ngayah”) sebatas slogan palsu, sarat dengan kemunafikan. Dengan demikian slogan sebagai Pulau Pemberi Berkah, ke depan hanya sebatas “pemesanan kosong”, dan atau sekadar alat kampanye politik yang “lips service” dan kemudian dilupakan (setelah berkuasa),” kata I Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma).
Menurutnya, jangan-jangan Bali ke Depan, pasca kerusakan alam dan budaya yang tidak bisa lagi ditoleransi, hanya menjadi ajang perebutan keserakahan, “homo homini lupus”, manusia menjadi srigala selamanya. Sehingga sebutan apa yang pantas “ditempelkan” untuk Bali. (Adi Putra).