Raina Galungan, Momentum Transformasi: Dari Keakuan Diri menuju Ketercerahan Diri
Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, penulis buku agama Hindu dan Kebudayaan Bali.
Sudah semestinya raina Galungan dirayakan tidak sebatas agama sosial “rame-rame”, rutinitas siklus enam bulanan, minim dan bahkan miskin makna. Atau sekadar siklus upacara “jalan di tempat”, dalam artian status quo, tidak turun derajat kualitas perilaku, tidak juga sebagai momentum purifikasi Diri menuju pendakian rohani.
Tradisi bagi Tetua Bali, terlebih yang hidup di pegunungan, suntuk bergelut dengan alam, merawatnya, nunas sari melalui “swakerthinya”. Proses transformasi Diri dilakukan dengan diam, belajar dari sasmita alam, menghayatinya, mengalami transformasi, memperbaiki laku kehidupan untuk Diri sendiri dan lingkungan kecil yang dekat, tanpa pamer, karena transformasi Diri adalah proses melihat Diri ke dalam, tidak perlu orang lain tahu. Kearifan kehidupan yang melahirkan karakter diri yang kuat: kejujuran, kemandirian, kebersahajaan, kewaspadaan, dan kejelasan visi masa depan buat keturunannya. Transformasi Diri “in actions”, sepi wacana, bukan wacana rame-rame, tetapi miskin tindakan bermakna.
Galungan menjadi momentum terbaik dalam transformasi Diri, dalam sebuah lingkungan sosial yang begitu kumuh. Kumuh, akibat merujuk pemikiran negarawan berkebangsaan India, penempuh jalan Karma Yoga Mahatma Gandhi, sebagai akibat dari Tujuh Dosa Sosial yang menjadi penyakit masyarakat, Seven social Sins. Tujuh dosal sosial ydm.: Politik tanpa Prinsip, yang melahirkan perilaku politik menghalalkan semua cara. Bisnis tanpa Moralitas, yang melahirkan prilaku “economic animals”, penguasa besar bisa saja “memangsa” yang kecil. Pencarian Kekayaan tanpa Upaya Kerja, yang melahirkan korupsi sistemik, korupsi nyaris menjadi “budaya”. Pendidikan tanpa Karakter, yang melahirkan lulusan yang melanggar etika moral dan bahkan melakukan moral hazard, kerusakan moral. Iptek tanpa kemanusiaan, bisa melahirkan temuan iptek merusak alam, dan membuat kesenjangan ekonomi yang tajam. Pencarian kesenangan tanpa upaya pembatasan, melahirkan masyarakat hedonistik memuja benda, dan merusak tatanan moral sosial. Pemujaan kepada Tuhan tanpa Kerelaan Berkorban, melahirkan masyarakat munafik, bisa menggunakan ajaran agama sebagai alat kekuasaan, menjadi semacam “industri”dan kemudian meraup untung besar dari “industri” ini.
Jro Gde Sudibya, intelektual Hindu, penulis buku agama Hindu dan Kebudayaan Bali.