Ida Wayan Gronoka bersama murid muridnya

Oleh : I Wayan Westa

Om Swastyastu, Salam Sejahtera untuk Semua.

Para guru, para sahabat, para cendekia sebangsa dan setanah air
Hari ini adalah Hari Suci Saraswati, hari turunnya ilmu pengetahuan bagi kita semua. Hari Suci Saraswati jatuh tepat pada Sabtu Umanis, Wuku Watu Gunung.

 

Sabtu atau Saniscara adalah hari terakhir dalam bentang hari berhitungan tuju. Sementara esok, hari Minggu atau Redite, hari pertama dalam bentangan hari bersiklus tujuh itu. Radite, Raditya atau Siwa Raditya adalah nama lain dari surya — energi penghidup semesta, pelenyap kegelapan.

Dan esok adalah hari Minggu, yang juga disebut “Radite”, bertepatan dengan Hari Banyupinaruh atau “banyu pina weruh”, hari memohon berkah “air pengetahuan” penghapus kegelapan pikiran. Ya, hanya Air pengetahuanlah yang bisa mengusir kegelapan pikiran. Tak belebihan bila Maha Bajra Sandhi menyebut mimbar dialog ini sebagai “saraprajña”. Saya artikan sebagai tarpana atau persajian pengetahuan untuk “deklarasi langit” demi menghormati leluhur mistis kemanusiaan itu.

Sementara Watu Gunung, adalah wuku terakhir dari 30 wuku yang ada dalam sistem kalender Nusantara ─ dalam hal ini; kalender Jawa dan Bali. Dari sini terbaca siklus; dari Sabtu atau Saniscara kembali ke Radite. Dari Watu Gunung, kembali ke wuku pertama Sintha. Jadi simboliknya bisa dibaca; Saniscara kembali ke Surya. Watugunung kembali ke Ibu Sintha guna mendapat anugerah air pengetahuan penghapus kegelapan.

Watu Gunung adalah putra Sintha yang telah melakukan perkawinan terlarang terhadap sang ibu. Ada tiga ibu dalam dunia Bali; Ibu Bumi, Ibu Biologis, Ibu Pengetahuan[Saraswati]. Penafsiran saya, bahwa dosa paling pekat pun akan dikikis habis cahaya Ibu Pengetahuan. Tak ada seorang pun hidup bahagia tanpa berkat tiga ibu itu. Pengetahuan adalah matahari, dan juga adalah bulan. Ia adalah nyala sekaligus cahaya ─ menerangi segenap kegelapan. Kakawin Niti Sastra misalnya menyebut mereka yang tak berpengetahuan ibarat goa peteng.

Lalu apa yang kemudian bisa kita baca dari siklus kewaktuan Bali? Setidaknya, ia menyodorkan pada kita perihal perjalanan “kembali”, dalam hukum yang berulang dan berulang ─ bahwa di situ, pada setiap perjalanan zaman atau kalpa kita harus menemukan serta memastikan pijakan baru. Karena zaman dan peralatan yang ada di belakang kita telah kedalu warsa, dan amat konvesional, aus merapuh termakan Kala. Peralatan-peralatan ini, entah itu agama, ilmu pengetahuan, ideologi, perundang-undangan, ajaran-ajaran, termasuk difinisi kita perihal makna ke-Tuhan-an perlu dipercanggih ─ karena di situ, di rumah agama-agama Tuhan kerap membuat kita jauh dari persaudaraan. Agama membuat kita berperang demi Tuhan. Agama membuat kita jauh dari kemanusian.

Dan sampai di sini, kata “berulang” tidak mesti kita maknai sebagai ulangan keadaan yang sama. Kata “berulang” atau “kembali” sebaiknya kita maknai sebagai putaran menanjak dan mendalam, lalu menemukan “pijakan dan kebajikan baru” ─ tempat di mana kita bisa membangun kemartabatan baru “Pa-Bali” ─ dalam revolusi paradigma Ketuhanan yang baru ─ Tuhan bagi semesta raya. Tuhan yang tidak terkotak-kotakkan, Tuhan yang tidak membuat kita cemburu, lalu mengangkat pedang demi membela-Nya. Tuhan yang dikambinghitamkan dalam politik praktis negeri ini.

Dari sini saya coba mentaksonomi pikiran reflektif visioner Ida Wayan Gronoka. Dalam Deklarasi Langit, Yantra 78 ─ Tahun Indonesia Merdeka “Menuju Maharddhika. Saya menyimak, Granoka sang filosuf dunia baru ini telah memastikan ” dataran pijak” itu; sebagai “Titik Refrensi Yang Baru”. Memang sebagaimana tulisan-tulisan meditatif Granoka, sembari menyitir tokoh mahardhika Sutasoma, bahwa pada titik zaman yang gelap, pada titik kalpa yang senja, hal-hal kovensional, hal-hal yang usang harus kita tinggalkan di belakang, biarkan ia jadi artefak peradaban ─ tempat siapa saja yang hendak menengok masa silam sebagai titik perjalanan baru untuk masa depan sempurna itu.

Ida Wayan Gronoka

Bukankah secara berulang kita telah diingatkan para cendekia? Sebagaimana ajakan seorang humanis sekalas Eramus di tahun 1467-1536, ia mengingatkan; “bahwa masa kuno telah lewat dan masa baru telah mulai. Pandangan ini dikuatkan kembali sejarawan terkemuka Indonesia; Sartono Kartodirdjo [1986: 5]. Menurutnya, ” Setiap kebudayaan berlangsung di dalam waktu, dan selalu di dalam perubahan; hidup kebudayaan tunduk pada suatu gerakan; yang lama lenyap untuk digantikan yang baru.”

Dalam kata-kata Granoka, menyitir tindakan “radikal Sutasoma; ia “memilih keluar dari konvesi.” Sutasoma keluar dari “penjara” kemegahan kerajaan untuk menyingkap dunia lebih tinggi. Dan gerbang terbuka dengan sendirinya.

Pertanyaan kemudian, apa gerangan “Titik Referensi Yang Baru” itu? Granoka memberi kunci-kunci pembuka, bahwa kita memerlukan “Pusat Baru”, itu harus ditemukan lewat proses ideasi Adiwisuda, Wisudhacakra Ardanare. Artinya dalam perjalanan panjang itu, meminjam adagium Prof Surya Darma; manusia tidak boleh mati sebagai ulat besar, ia harus meretas keponpong –lalu terbang lepas sebagai kupu-kupu. Manusia dalam refleksi Ida Wayan Oka Granoka, ia harus berpikit kreatif dan berkesadaran nyata. Ia harus meraih keunggulan guna menyingkap dunia lebih tinggi. Ia harus melakukan penebusan jantung Waktu [Kala], melalui Kuasa Mengetahui ─ hadir sebagai sang Penyelamat Kali di zaman Gelap. Inilah yang oleh Granoka disebut sebagai “jñānawiśesa kasesyāsih.”

Lalu siapa gerangan “pusat baru?” itu. Granoka menunjuk dengan gambelang, pusat baru itu adalah KITA. Manusia adalah pusat, maka ia memerlukan ‘adiwisuda’, ia memerlukan “sangaskara”, pendidikan di jalan pembesan. Bahwa di titik puncak itu, sampai ia menemukan realitas agung, payung tunggal itu, adalah ia yang telah menjalani “Wisudhacakra Ardanari ─ saya pahami sebagai pergulatan parasaktimaya, sinkreas Timur-Barat ─ di mana tak lagi ada dualisme, seluruh pertentangan, seluruh perseteruan menjadi alkemia sinkreas baru. Bagi Granoka, inilah bentuk penghormatan pada leluhur mistis kemanusiaan dan kepemimpinan besar zaman kemartabatan baru.

Pikiran-pikiran visioner Granoka dipersembahkan di jalan bakti pada negara bangsanya – – pada tanah lahir bangsanya, yang dipersatukan “ideologi emas” bhinneka tunggal ika – tan hana dharma mangrwa dari karya puncak leluhurnya Mpu Tantalur. Ia mencarikan solusi kebuntuan-kebuntuan akut problem bangsanya dalam bentuk masa depan sempurna — walau hal ini harus diupayakan terus-menerus secara tulus – niskama-kama.

Kita sadar, sebagaimana diakui Presiden Joko Widodo di masa awal pemerintahannya, sentimen agama adalah menyumbang kerawanan paling tinggi bangsa ini. Padahal yang sesungguhnya diajarkan kitab-kitab suci adalah sesuatu hal sama, yakni; membangun kembali sebuah tatanan kehidupan menurut “blue print” Sang Pencipta. Kita mafum, tugas agama paling azasi adalah memanusiakan manusia. Dalam Bahasa pujangga India Rabhindranath Tagore; agama bukanlah untuk Tuhan, agama sejatinya untuk manusia.

Inilah kemudian dalam resolusi visioner Granoka, kenapa kita memerlukan “Ideologi Agung”, adicita yang diturunkan dari “revolusi paradigma Ketuhanan YME ─ ideologi yang mengatasi kotak sempit agama-agama. Ideologi yang memayungi “leluhur mistis kemanusian”, bahwa melebihi dari agama -agama, ras, kesukuan ─ bahwa di situ, pada setiap yang hidup ada gen Tuhan yang melekat. Ada DNA yang tetitipi zat tunggal yang sama. Di situ, ada persaudaraan mistis yang perlu dirawat. “Apan tunggal jatinia buwana agung kalawan buwana alit, sejatinya tunggal hakikat jagat besar dan jagat diri ini,” begitu teks Kanda Mpat Bhuta menuliskan. Menurut Granoka inilah Darmāsraya ─agama semesta raya, agama untuk semua, agama yang memayungi semesta hidup.

Bila kemudian Presiden Joko Widodo membangun istana dan Pusat Ibu Kota Baru untuk negara ini, sebagai kota cerdas berperadaban baru, Granoka justru dengan keterbatasannya membangun Pusat Baru bernama Adistana, “Istana Pengetahuan”, “Jñanamurti Wisesa” ─ pusat pendidikan unggul terpilih untuk generasi emas bangsa ini. Granoka menyebutnya sebagai “Upaksma” bagian dari tugas akhir pendidikan Garba Emas, sebagai upaya kaskara manusia unggul, kuasa mengetahui. Inilah bentuk pembumian Karma-Upasama-Jnana di mana peran individu – supraindividu menjalani lompatan fase jadi SIDAMANTRA melampaui ledakan besar kebudayaan menjadi ledakan kreatif yang agung — adicita tunggal, ideologi agung di tengah-tengah matinya ilmu pengetahuan dan redupnya ideologi-idelogi dunia yang amat material. Dan tugas ini sesungguhnya adalah jalan brahmana, jalan para cendekia yang dipanggil zaman untuk memberi solusi besar bangsanya.

Bagi saya inilah panggilan Brahmana, tugas para cendekia yang selalu berpikir general, untuh menyeluruh mencari solusi-solusi zaman. Dan Granoka tengah melakukan tugas itu, bukan karena ia berasal dari trah Brahmana Buddha. Dalam pikiran-pikiran meditatif Granoka, kata brahmana menjadi bermakna lebih tinggi, lebih luas, lebih dalam, lebih visioner. Tugas brahmana sesungguhnya bukan semata berkutat pada dunia ritual, upacara yang kian kehilangan esensi, penghafal mantra yang malas dalam tradisi semakin rapuh konvensional. Dan di titik ini Brahmana adalah ia yang selalu memberi nyala zaman, menyodorkan jawaban masa depan bagi umat manusia — dialah GURU LOKA yang sebenarnya. Dia pemimpin “Pakarana Baru” di wilayah Wisnu Tamoguna ─ suara gamelan yang membuka pintu surga baru. Surga untuk dunia baru di jalan besar Mahayana ─ surga masonik harapan masa depan bersama.

Terima kasih.
Om Santhi-Santhi-Santhi.

Refleksi ini disampaikan dalam acara Tarka Webinar Dialog Imajiner Virtual IV Progrma Mahkota Aksara Tujuh Abad Bhinneka Tunggal Ika. Wisudhacakra Ardanari 78Th Yantra Merdeka Mahardika [16 Desember 2023]

I Wayan Westa
Pakubuan Kusa Agra