Refleksi raina Anggarkasih Dukut, Kecendikiaan dalam Fenomena Kerusakan Moral Sosial
Poto hanya Ilustrasi
Selasa, 5 Desember 2023, raina Anggarkasih Dukut, sasih Kenem, Icaka 1945. Bagi insan-insan manusia Bali yang melatih diri untuk mengembangkan sebut saja agama spiritual, rainan adalah momentum purifikasi diri, lengkap dengan refleksi diri, dengan harapan (tanpa pamrih) menuju pendakian rokhani.
Dalam konteks sosial sekarang, peran kecendikiaan menjadi semakin penting dalam fenomena kerusakan moral secara sosial.
Prof. J.E.Sahetapy (alm.) akhli hukum pidana dalam berbagai kesempatan mengatakan (sebagai sebuah tamsil), “ikan busuk mulai dari kepalanya”, setelah pembusukan terjadi di kepala, akan menyebar secara cepat ke seluruh bujur ikan, sehingga terjadi pembusukan total secara cepat. Fenomena “ikan membusuk dari kepala” ini, tepat menggambarkan terjadi proses proses “pengrusakan” etika, moral dan juga hukum di lembaga hukum seperti: MK, KPK dan di cabang-cabang kekuasaan lainnya, ekskutif, legislatif dan juga yudikatif.
Terjadi proses “pembusukan” di lembaga-lembaga tsb., yang menggambarkan terjadinya kerusakan etika moral secara sosial. Mengikuti “thesis” Prof.Sahetapy di atas, “ikan busuk dari kepalanya”, proses “pembusukan” yang terjadi di lembaga-lembaga negara akan dengan cepat menular ke lembaga-lembaga sosial yang ada di bawahnya, melalui proses penjalaran sosial (social contagation). Soal waktu saja akan melahirkan kerusakan moral sosial secara menyeluruh dan nyaris paripurna. Akibatnya, negara bangsa dalam bayang-bayang negara gagal (failed state).
Dalam konteks ini, para cerdik cendikia, (meminjam bahasa keren dan sedikit hiperbol), menjalankan panggilan Kenabiannya, mengingatkan negara bangsa dalam risiko menuju ke tepi jurang kehancuran peradaban dan kebudayaan, melalui pemikiran tercerahkan (yang merupakan ciri melekat kaum intelektual ini). Bukan sebaliknya, “milu-milu tuung”, terjerembab dan menjerembabkan diri dalam permainan kotor kekuasaan, memberikan pembenaran (justifikasi) dari kebijakan penguasa (yang tidak bijak), membuat suasana dan realitas sosial menjadi semakin kusut, kekusutan sosial, sehingga pelanggaran etika, moral dan hukum meluncur bak bola salju menggelinding ke bawah semakin membesar, yang kemudian “menelan” masyarakat secara total.
Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma).