Keputusan MK Melanggar Konstitusi, Fenomena Dinasti Politik dan Risiko Pemakzulan Presiden
Hakim konstitusi Saldi Isra dan Ketua MK Anwar Usman saat sidang pembancaan putusan pengujian batas syarat Capres dan Cawapres dalam UU Pemilu di Gedung MK, Senin (16/10/2023).
Denpasar, (Metrobali.com)-
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kontroversial tersebut kategori telah melanggar etika, moralitas prilaku hakim, memutuskan apa yang tidak menjadi kewenangannya, melakukan ” penyelundupan” hukum, melanggar hukum.
Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004, pengamat ekonomi politik, Minggu 22 Oktober 2023 menanggapi keputusan MK yang membuat isu politik di Indonesia memanas.
Dikatakan keputusan MK tersebut sangat bertentangan dengan sikap kenegarawan, memberikan keuntungan politik kepada Gibran Rakabuming Raka sebagai anak Presiden untuk maju sebagai kandidat Wakil Presiden, dapat dinilai sebagai pelanggaran konstitusi, dan bahkan seorang pengamat menyebutnya sebagai kejahatan konstitusi.
“Keputusan MK yang jauh dari etikan dan moral tersebut sangat berpotensi untuk dilakukan pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden,” kata Jro Gde Sudibya.
Dikatakan, pemberian “karpet emas” bagi Gibran melalui keputusan MK yang melanggar konstitusi, gambaran dari indikasi membangun politik dinasti yang didukung oleh “vested interest” di sekitarnya, yang begitu haus kekuasaan, mengabaikan etika moral politik dengan “menekuk” konstitusi.
Menururnya, Gibran adalah kader PDI Perjuangan yang memperoleh penugasan sebagai Wali Kota Solo, maju Cawapres tanpa seizin induk partainya, melanggar disiplin organisasi partai dan juga etika berpolitik. Sudah tentu publik bertanya, baru menjadi cawapres saja, telah “mempertontonkan” diri melanggar disiplin organisasi dan tata krama berpolitik.
Dikatakan, pembajakan konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan lewat politik dinasti, sebagai bentuk lain dari monuver politik sebelumnya yaitu gerakan memperpanjang masa jabatan, menunda Pemilu, melalui prilaku politik yang mengkhianati konstitusi, itu merupakan bukti permulaan yang cukup untuk melakukan pendakwaan (impeachment) terhadap Presiden.
“Untuk menghindari terjadinya preseden, monuver untuk memperpanjang dan melanggengkan kekuasaan dengan kekuatan yang melekat pada Presiden, dengan jalan memanipulasi konsitusi, seakan-akan di tingkat permukaan, seolah-olah ditimbulkan kesan tidak terjadi pelanggaran konstitusi. Indikasi dari bentuk permufakatan jahat yang mengkhianati gerakan reformasi, “jauh panggang dari api” dengan idealisme besar nan mulya dari Bapak Ibu Pendiri Bangsa,” kata Jro Gde Sudibya.
Tidak pernah terbayangkan dalam benak Soekarno, Hatta, Sjahrir, negara bangsa yang dibangun dengan susah payah ini, sekarang dengan jumlah penduduk 280 juta, “tunduk takluk” kepada segeluntir orang: suami-istri, paman dan seorang anak yang masih “ingusan” secara politik. Quo Vadis ini negeri. (Adi Putra)