Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan uji materi batas usia capres-cawapres di Jakarta, Senin (16/10/2023).

Denpasar, (Metrobali.com)-

Ternyata MK mencla mencle dalam memberi keputusan. Malah ini berbalik mengabulkan. Saya sedang mengikuti live streaming-nya di Youtube channel MK. Saya marah sampai ke ubun-ubun. MK sudah benar-benar telah menjadi alat politik.

Hal itu dikatakan mantan hakim Mahkamah Konstitusi Dewa Gde Palguna, MH Senin 16 Oktober menanggapi keputusan MK yang telah benar benar menjadi alat politik.

Sementara itu, Jro Gde Sudibya, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999 – 2004 mengatakan, ini mimpi buruk buat MK, jika kita menyimak suasana kebatinan dalam perumusan pembentukan MK kalau menyimak intervensi MK yang begitu banal dari “pusat-pusat “kekuasaan, yang sudah memberikan penggambaran krisis konstitusi, sehingga keputusan MK yang “nyleneh” bukanlah hal yang mengagetkan.
Tantangannya, bagaimana keputusan MK yang “nyleneh” ini dihadapi dengan cara berpolitik cerdas dan bermartabat.

Dikatakan, hampir 100 persen benar, begitulah suasana kebatinan yang bisa ditangkap dalam risalah pembahasan yang berhubungan pembentukan MK oleh PAH Satu. Tiyang membaca risalahnya, dan juga sempat berdiskusi intens dengan teman-teman di PAH Satu dalam proses pembentukan MK.

Sebelumnya diberitakan, Mahkamah mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diajukan oleh perseorangan warga negara Indonesia (WNI) bernama Almas Tsaqibbirru Re A yang berasal dari Surakarta, Jawa Tengah.

Ia memohon syarat pencalonan capres dan cawapres diubah menjadi berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Sementara itu, Menkumham Macfud MD menyebut, keputusan MK itu final. Tugas kita sekarang adalah bagaimana pemilu ini tetap berjalan.

Jro Gde Sudibya mengatakan setuju dengan pendapat Menkumham. “Setuju, dengan Machfud MD , keputusan MK bersifat final dan mengikat, tetapi ada persoalan serius dan fundamental di sini, pada hakekat dasarnya, keputusan MK tersebut merupakan ranah kewenangan pembentuk UU, Pemerintah dan DPR.

Menurur Jro Gde Sudibya, setuju dengan Menkumham, akan tetapi “disorongkan” ke MK, berlindung di balik kuasa UUD, dengan target politik kekuasaan, sehingga publik mendapat kesan, MK dijadikan semacam “westafel” untuk “membasuh” manuver politik kekuasaan.

Dikatakan, di samping terjadi pelanggaran etik di sini, Ketua MK adalah paman dari Gibran yang diuntungkan secara politik dari keputusan ini, publik menganggap terjadi “conflict of intererst” di sini.

Semestinya, lanjut Jro Gde Sudibys dari sisi penegakan etika profesi kehakiman konstitusi, Ketua MK tidak terlibat dan dilibatkan dalam proses persidangan.

Dikatakan, bahwa keputusan MK ini merupakan catatan kelam untuk MK sejak berdirinya, dua hakim konstitusi melakukan tindak pidana korupsi, penggantian hakim konstitusi Aswanto melalui usulan DPR yang bertentangan dengan UU Konsritusi, pelanggaran etik berat yang dilakukan hakim konstitusi Guntur Romli dengan sanksi etik ringan, perubahan persyaratan capres dan cawapres dengan usia sekurang-kurangnya 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, yang ditetapkan pada “in jury time” pencalonan presiden dan wakil presiden, yang dinilai publik sebagai bentuk intervensi kekuasaan terhadap MK dengan berlindung pada aturan konstitusi yang ditafsirkan secara tidak etis dan tidak menggambarkan sikap kenegarawanan. (Adi Putra)