Tricle down effect Pembangunan Tidak Terjadi, Bukti Pemimpin Bali Gagal
Bukti proyek Mercusuar Tol Gilimanuk-Mengwi Mangkrak
Denpasar, (Metrobali.com)-
Niat pemimpin untuk ngurusin masyarakat miskin tidak ada di jaman Wayan Koster (WK). Penguasa lebih memilih membangun proyek mercusuar, ketimbang membangun SDM Bali yang bermoral sesuai dengan nilai nilai luhur yang telah diwariskan oleh leluhur Bali.
Hal itu dikatakan pengamat kebijakan publik Jro Gde Sudibya, Kamis 13 Oktober 2023 menanggi kebijakan mantan Gubernur Bali Wayan Koster yang ugal ugalan.
Menurutnya, sebenarnya, dengan anggaran APBD Bali yang besar, diambil 10 persen untuk rakyat miskin sudah beres. Memang keinginan pemimpin tidak mau mengurus masyarakat miskin, mereka lebih suka mengurus “fashion show” menunjukkan kosumtifisme di atas panggung Ardha Candra.
Dikatakan, ini sangat ironi dan Tragedi atas Kemiskinan di Bali. Beberapa catatan kritis atas tragedi kemiskinan Bali.
“Partai yang berkuasa, mengklaim diri sebagai partai “wong cilik”, faktanya jumlah orang miskin bertambah,” katanya.
Menurut Jro Gde Sudibya, di era Gubernur Koster, sebagian besar dana publik terserap ke 44 proyek pembangunan fisik, tetapi tidak dihitung secara cermat dampak menetes ke bawahnya -tricle down effect-: meningkatkan pendapatan masyarakat bawah, mengoreksi kesenjangan pendapatan.
“Konsekuensi logis saja dari proyek mercu suar, yang mungkin memberikan “rejeki nomplok” -windsfall profit-bagi kepentingan bercokol (vested interest) di sekitar kekuasaan,” kata Jro Gde Sudibya.
Dikatakan, dengan jumlah kemiskinan yang bertumbuh dan relatif merata di Bali, timbul pertanyaan kritis: seberapa efektif dana bansos yang telah digelontorkan, dalam perspektif peningkatan kesejahteraan publik di akar rumput.
“Dengan data dan wajah kemiskinan (poverty profile) ini, agaknya dana bansos tidak efektif meningkatkan standar kehidupan “wong cilik”. Jadi ucapan bernada sinis tentang “politisi bansos”, barangkali ada benarnya,” kata Putra Tajun Buleleng ini.
Oleh karena itu, kata Jro Gde Sudibya diperlukan pendekatan baru dalam menanggulangi kemiskinan, dari pendekatan numerik berdasarkan jumlah angka statistik, menjadi pendekatan “wajah”, penguasa mengenal wajah-wajah warga miskin dan ekspresinya, sehingga diharapkan muncul kebijakan yang berempati pada mereka. Tidak sebatas mengunjungi mereka di masa pemilu untuk minta suara dan mungkin juga “membelinya”.
Kesannya, kata Jro Gde Sudibya, selama ini memimpin Bali secara “gampangan”, lakukan lobi untuk investasi banyak masuk Bali, apakah merusak lingkungan, “menyandra” budaya, tidak memperbaiki kesejahteraan penduduk lokal yang miskin, membuat masyarakat “kasep tanggap” gagap merespons perubahan kesannya diabaikan.
Menurut salah seorang netizen, “Jeg cara sesenggak Bali ne “Memongol” i Wayan, sing ningehan munyin rakyat. Munyin ibane dogen orine ningehang.
Masih menurur pengamat politik dan sosial, Jro Gde Sudibya, kearifan pada masyarakat Bali mengajarkan, pemimpin yang tidak mau mendengar aspirasi publik yang sehat dan punya niat baik, akan berujung pada kegagalan dan “dicolekin pamor” oleh masyarakat. (Adi Putra)