Pengusaha yang telah tergabung dalam konsorsium dan melarikan diri dari komitmen membangun jalan toll, dengan membuat warga terdampak meradang dalam derita ketidak-pastian, hanya terjadi pada kebijakan publik yang UGAL UGALAN.

Oleh : Dr. I Gede Sudjana Budhiasa, Forum IKMB- Kubutambahan

Bertemu sahabat lama, setelah 40 tahun berpisah, Dr. I Nyoman Sugara Korry, SE MM dari partai Golkar, saat ini Wakil Ketua DPRD Bali, banyak gagasannya untuk membangun kesejahtraan bagi rakyat Bali Utara, tetapi sahabat lama ini tenggelam suaranya karena minoritas di DPRD Bali. Kita melewati zaman yang menyedihkan, tidak ada ruang untuk membangun kebersamaan. Ini saatnya kita kritisi, untuk membangun masa depan, dengan kebijakan publik pemerintah yang lebih mengayomi warga Bali pinggiran, yang menjadi korban atas modernisasi pembangunan.

TGM Meradang dan Terancam Mangkrak

Jalan Toll Gilimanuk Mengwi disingkat TGM tidak tercatat sebagai visi misi Wayan Koster ketika menjadi calon Gubernur Bali 2017, tetapi muncul ke permukaan sebagai sambungan dari lokasi bandara Sumber Kelampok, dimana jalan Toll TGM diharapkan dapat menjadi fasilitas transportasi percepatan penumpang bandara dari Sumber Kelampok ke Denpasar dalam hitungan kurang dari dua jam. Karena pembangunan bandara Bali utara dipolakan atas bantuan dana APBN, maka tidak mungkin jalan Toll TGM mempergunakan APBN juga, maka ini tercatat untuk pertama kalinya Wayan Koster berkoneksi dengan swasta, yang tidak memiliki pengalaman bekerja sama denga swasta, mungkin karena keterbatasan pengalaman berurusan dengan swasta, maka TGM menjadi warisan kebijakan publik yang membuat warga terdampak TGM meradang.

Dengan rancangan jalan Toll TGM ini, mantan Gubernur Koster sudah melupakan sama sekali, bahwa pembangunan Bandara Bali utara adalah untuk pemerataan pembangunan Bali Utara. Lagi lagi kita diberikan tontonan kebijakan publik yang ugal ugalan, karena perencanaan pembangunan sudah melupakan kepentingan Buleleng dengan sejumlah destinasi wisata Kawasan Lovina, Munduk, desa Wanagiri, desa Pancasari dan desa Lemukih yang sedang berkembang, obyek wisata desa Julah dan bahkan obyek wisata Amed Karangasem dan juga Kintamani di daerah Bangli. Kalau hitungan kurang dari dua jam harus sampai di Denpasar, maka konsep yang mensejahtrakan Bali utara mana?

Konsep membangun Bali utara sesuai dengan ketentuan PSN mana? Ini contoh kebijakan publik yang sangat tergesa gesa dan membuat warga Bali utara menyesalkan atas perencanaan yang keluar dari kepentingan Bali utara, karena ingn dapatkan proyek PSN berbasis APBN itu.

Wacana jalan Toll TGM dimulai dari tahun 2021, bersamaan dengan pemantapan rencana Bandara Bali utara di Sumber Kelampok, dengan rancangan awal bahwa pembangunan Toll TGM dikerjakan lebih dahulu, untuk kemudian disusul dengan rencana pembangunan Bandara Bali utara yang ditetapkan di lokasi desa Sumber Kelampok Bali barat itu. Bahwa ternyata sampai dengan saat ini, pembangunan jalan Toll TGM itu menjadi warisan kebijakan publik yang sangat beresiko MANGKRAK.

Toll TGM beresiko mangkrak, dengan indikasi awal terbukti sudah 2 tahun berjalan tanpa kepastian, dengan indikasi tidak layak menurut perhitungan perbankan, berdasarkan proyeksi return of investment dengan resiko gagal pengembalian kredit. Pertama, rencana jalan Toll TGM memuat perencanaan yang super biaya tinggi, dengan melebarkan Toll khusus sepeda motor, yang tentu harus menyediakan lebh banyak pengadaan lahan dan aspal semakin melebar, dan tembok penyekat sepanjang 98 KM itu. Kedua, ternyata Toll TGM sepanjang 98 KM itu melewati sekitar 30 jembatan over-pass maupun under-pass, sehingga total biaya menjadi 24,6 triliun.

Sementara untuk mengembalikan investasi dengan pendapatan dari penerimaan Toll, memerlukan tahun yang lebih panjang dari proyeksi normal jalan Toll untuk mencapai break-even point (BEP), lalu pengusaha mana yang mau?

Dilihat dari beban rencana Toll yang superior dengan cakupan pembangunan under-pass dan over-pass yang tidak ada pada Toll ProboWangi, justru model Toll ProboWangi yang lebh banyak dikejar para Investor, karena lahan datar dan tidak banyak melibatkan alur sungai dan jurang, dimana investor harus menyediakan dana tambahan dalam membangun jalan menjadi tersambung, mungkin indah bagi wisatawan, tetapi sangat memberatkan bagi pengusaha Jalan Toll.

Jika benar informasi bahwa pengusaha yang tergabung dalam tiga konsorsium membatalkan pembangunan jalan toll yang telah disepakatinya karena perbankan membatalkan proposal pinjaman dari para pengusaha terkait, itu juga menjadi pedoman bahwa diperlukan pengusaha jalan Toll yang baru dengan kepemilikan dana sendiri dan tidak terkait terlalu banyak dengan sumber dana perbankan.

Kalau pun ada pergantian pola kerja sama KPBU, tetap proyek jalan Toll ini mengundang misteri biaya termahal di dunia, dengan jalan toll senilai 244 milyar per km, mungkin biaya lebih bisa ditekan dengan dibangun jalan Toll standar, hanya untuk mobil saja, tetapi tetap pembangunan over-pass dan under-pass tidak dapat dihindari, sehingga kebijakan publik jalan Toll Gilimanuk Mengwi itu diwarisi oleh Gubernur Mahendra Jaya sebagai kebijakan publik yang ugal ugalan, karena tidak dirancang dengan studi kelayakan dan studi Amdal yang terencana baik, bahwa GROUND BREAKING yang telah dibuka sebagai pencitraan semata. Sangat tidak mungkin bisa dibangun cakupan 98 km panjang, dengan biaya Rp. 24.6 triliun, dengan analisis perbankan sudah dianggap tidak layak.

PT Jagat Kerti yang menaungi ketiga PT konsorsium ini akhirnya menjadi ceritera, lebih banyak menyisakan derita warga terdampak yang telah 2 tahun terkatung katung tanpa kepastian. Berita terakhir di Medsos, Toll TGM akan di tender ulang, sungguh ini menjadi warisan dari kebijakan publik Wayan Koster antara dilanjutkan dengan dihentikan menjadi sama besarnya.

Bahwa jika jalan toll TGM dilanjutkan, tampaknya harus di revisi bahwa jalan toll tidak lagi memuat rencana awal yang menyertakan jalan sepeda motor khusus, dengan catatan tetap tidak bisa dihindarkan adalah pembangunan under-pass dan over-pass yang membebani dana investor dan membuat mereka menjadi agak pesimis dengan tenggang waktu pengembalian modal atas bea jalan toll per km itu.

Alhasil, menurut perhitungan ekonomis kelayakan investasi yang kita susun, tidak ada satu pun pengusaha jalan toll yang berminat untuk mengambil peluang bisnis jalan toll TGM ini, terlebih masih berfungsinya jalan lama, yang pasti akan menjadi pesaing jalan toll dimasa depan. Bahkan ketika jalan lama kembali sepi dan membuat nyaman, maka banyak pengguna kendaraan akan beralih ke jalan lama, maka investor menangis karena dikejar kejar angsuran bank dengan resiko penumpang menjadi sepi dan dengan pemerimaan pendapatan yang beresiko menurun. DENGAN MEMBATALKAN JALAN TOLL, MENGGANTI RUGI KONPENSASI ATAS KERUGIAN RAKYAT TERDAMPAK, ADALAH SOLUSI TERBAIK, KARENA TIDAK ADA PILHAN PENGUSAHA UNTUK MENEKAN BIAYA JALAN TOLL, KECUALI NANTI DIKERJAKAN DENGAN BIAYA APBN. MAKA SELAMAT TINGGAL JALAN TOLL, SELAMAT DATANG JALAN BY PASS APBN.

Kita hanya bisa berdoa, jangan lagi ada kebijakan publik yang ugal ugalan, mengundang pengusaha jalan toll yang sumber dananya masih dalam pengajuan proposal dan belum sepenuhnya menjadi Bank Guarantee. Pengusaha yang telah tergabung dalam konsorsium dan melarikan diri dari komitmen membangun jalan toll, dengan membuat warga terdampak meradang dalam derita ketidak-pastian, hanya terjadi pada kebijakan publik yang UGAL UGALAN.