Terkuak! Ternyata KEK Kura Kura Bali Langgar Radius Kesucian Pura Sakenan, Bangunan di Lahan Reklamasi BTID Harus Dihancurkan, Jangan Tebang Pilih!
Foto: Google Map menunjukan Kura Kura Bali berada di radius kesucian Pura Sakenan sepanjang 2.000 meter (foto atas), Tokoh Puri di Kota Denpasar, Anak Agung Gede Agung Aryawan, ST., (foto bawah).
Denpasar (Metrobali.com)-
Hubungan Warga Desa Adat Serangan, Denpasar, dengan PT Bali Turtle Island Development (BTID) yang mengelola Kura Kura Bali di kawasan reklamasi Pulau Serangan nampaknya tidak akan pernah harmonis. Tokoh puri di Kota Denpasar, Anak Agung Gede Agung Aryawan, ST., alias Gung De mengungkap fakta mencengangkan.
Selain, bangunan resort mewah yang demo besar-besar oleh warga Desa Bugbug, karena dituding melanggar kawasan suci di Pura Gumang, Karangasem, ternyata pelanggaran serupa juga disinyalir terjadi di kawasan reklamasi Kura Kura Bali yang telah menodai kawasan suci Pura Sakenan. Ditegaskan sebagai salah satu Pura Dang Kahyangan, Pura Sakenan sesuai Bhisama PHDI Pusat harus bebas bangunan komersil dalam radius minimal 2.000 meter. ”
Sebagai Pura Dang Kahyangan radius kesucian sesuai Bhisamanya 2.000 meter. Pura Sakenan kan Dang Kahyangan sesuai aturan Bhisama PHDI, maka Pura Dang Khayangan radius 2.000 meter sebagai area suci sing dadi membangun (tidak boleh membangun, red). Dalam artian tanah itu harus kosong 2.000 meter. Seperti bangunan dekat Pura Pecatu yang digugat kan? Bahkan radiusnya 5.000 meter di sana tidak boleh membangun,” beber Gung De.
Namun, anehnya di area kawasan Kura Kura Bali saat ini, ternyata sudah ada bangunan yang berdiri kokoh dengan lantai di atasnya difungsikan sebagai learning hub atau kampus berskala dunia. Sementara bangunan di lantai bawah sengaja dikomersilkan untuk area bisnis perusahaan asing Starbucks.
“Ada bangunan yang dibiarkan itu, berarti sudah melanggar Bhisama PHDI. Kalau bangunan itu ternyata dikasi ijin, artinya Bhisama PHDI sudah dilanggar oleh BTID. Karena Bhisama PHDI, seperti Fatwa MUI. Kan semua aturan itu telah diputuskan bersama dalam Sabha Pandita PHDI Pusat yang memutuskan aturan berdasarkan sastra Agama Hindu,” sentilnya, sembari menegaskan jika sampai ada bangunan di Kura Kura Bali, berarti pihak BTID sudah melanggar aturan Bhisama 2.000 meter yang dihitung dari titik tembok terluar Pura Sakenan sebagai Pura Kahyangan Jagat yang dikelompokan sebagai Pura Sad Khayangan dan Dang Khayangan di Bali.
“Itu kan kalau ada bangunan di BTID sudah kena radius 2.000 meter. Apalagi aturan radius 5.000 meter udah kena semua, dan BITD tidak boleh membangun di Kura Kura Bali. Coba tarik saja garis lurus ukur di sana. Kena radius kesucian pura itu, lahan reklamasi seluas 500 hektar (tepatnya diklaim sekitar 492 hektar, red),” ungkap bakal calon Anggota DPRD Provinsi Bali nomor urut 1 dari Partai Perindo Dapil Kota Denpasar ini.
Ditegaskan kembali, PT. BTID yang akan mengelola langsung kawasan akomodasi pariwisata mewah di Kura Kura Bali seharusnya tidak boleh membangun, seperti bangunan resort mewah di sekitar kawasan suci Pura Gumang yang terus menerus ditolak dan didemo oleh ribuan warga Desa Bugbug, Karangasem. Oleh karena itu, semua bangunan yang berdiri di kawasan Kura Kura Bali saat ini seharusnya dibongkar, karena sudah jelas-jelas melanggar aturan tertinggi Bhisama PHDI Pusat. Jika dibiarkan dan tidak segera ditindak tegas bisa melemahkan aturan yang dibuat oleh PHDI sendiri.
“Artinya kalau dibiarkan PHDI sing ngelah caling (tidak punya keberanian, red) dan tebang pilih. PHDI Pusat dan PHDI Bali seharusnya tidak tebang pilih, masak tolak reklamasi Teluk Benoa bisa menggunakan Bhisama, tolak sutet juga bisa. Kenapa sekarang banguanan komersil di BTID dibiarkan tidak ditindak tegas? ,” tandasnya.
Dikatakan, akan sangat berbeda dengan banguan rumah penduduk di dalam radius tersebut tidak melanggar, karena bukan termasuk bangunan komersil. Jadi jika pemerintah tetap membiarkan pembangunan, berarti sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Kura-kura Bali tidak memperhatikan Bhisama PHDI Pusat.
“Bhisama kan harus masuk Perda RTRW, jadi harus tetap berdasarkan Bhisama. Makanya KRPL-nya tidak keluar, akhirnya diakalin hanya berdasarkan KEK saja, dan dianggap sudah cukup. Padahal bangunan komersil di kawasan kesucian pura, harus tetap berdasarkan Bhisama PHDI. Jadi BTID tidak boleh membangun dalam radius 2.000 meter,” tandas mantan politisi senior Partai Golkar Bali itu.
Perlu diketahui, berdasarkan Keputusan PHDi Pusat No.11/Kep/I/PHDIP/1994 Tentang Bhisama Kesucian Pura yang dikeluarkan pada 25 Januari 1994 oleh Ketua Umum PHDi Pusat, Ida Pedanda Putra Telaga dengan Sekjen PHDI Pusat, Drs. Ida Bagus Suyasa Negara dengan tegas menyatakan sesuai aspirasi Umat Hindu yang berkembang tentang kesucian pura telah menetapkan untuk Pura Sad Khayangan dipakai ukuran Apeneleng Agung (minimal 5.000 meter dari pura). Sementara itu, untuk Dang Khayangan dipakai ukuran Apeneleng Alit (minimal 2.000 meter dari pura), dan untuk Khayangan Tiga dan lain-lain dipakai ukuran Apenimpug atau Apenyengker.
Pura Sakenan sendiri termasuk sebagai Pura Sad (Sat) Kahyangan dan Pura Dang Kahyangan di Bali. Sad Kahyangan berkaitan dengan Sad Kertiloka, yaitu memuliakan hutan, kebun, ladang, laut, danau, sawah, dan bumi. Pura Sakenan juga menjadi Dang Kahyangan, karena berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk kebesaran jasa pendeta guru suci (Dang Guru). Warisan budaya kebendaan benda (tangible) di Pura Sakenan ini, terkait dengan Lontar Usana Bali. Pura Sakenan merupakan Pura Kahyangan Jagat yang dibangun oleh Mpu Kuturan (Rajakretha), dalam sejarahnya pura dibangun sebagai perwujudan rasa syukur masyarakat Bali dan sekitarnya, karena keindahan Pulau Serangan melakukan persembahyangan.
Oleh karena itu, mengantisipasi semakin berkembangnya pembangunan nasional pada umumnya, dan khususnya pembangunan kepariwisataan di Bali, dan demi terjaminnya kesucian Pura Sakenan sebagai kawasan suci, maka pembangunan dengan kecenderungan yang diperkirakan akan timbul dampak negatif perlu diwaspadai, dan kendala- kendala yang muncul perlu ditanggulangi secara dini, tepat dan benar.
“Umat Hindu dituntut agar mampu mengantisipasi masalah-masalah yang berdampak negatif, akibat dari pembangunan mega proyek itu sendiri. Oleh karena itu, maka perlu pengkajian-pengkajian kembali secara mendalam dan terarah,” tegasnya, seraya mengungkapkan PHDI sudah menguraikan tentang apa yang disebut dengan tempat-tempat suci dan kawasan suci, gunung, danau, campuan (pertemuan sungai), pantai, laut dan sebagainya diyakini memiliki nilai- nilai kesucian.
Oleh karena itu, Pura Sakenan, dan tempat- tempat suci umumnya didirikan di tempat tersebut, karena umat Hindu mendapatkan pikiran-pikiran suci (wahyu) yang telah menjadi pusat- pusat bersejarah yang melahirkan karya- karya besar dan abadi lewat tangan orang-orang suci untuk kedamaian dan kesejahteraan umat manusia.
Berkenaan dengan terjadinya perkembangan pembangunan yang semakin pesat, maka pembangunan di kawasan Kura Kura Bali harus dihentikan, dan dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan sesuai Bhisama PHDI Pusat. “Di daerah radius kesucian pura (daerah kekeran) itu, hanya boleh ada bangunan yang terkait dengan kehidupan keagamaan, misalnya Dharmasala, Pasraman dan lain-lain, bagi kemudahan umat Hindu melakukan kegiatan keagamaan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum dan Pendiri Badan Independen Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH) Jero Gede Agung Subudi yang juga Pembina Yayasan Bakti Pertiwi Jati (YBPJ) menegaskan masyarakat Bali terus bertanya-tanya mengenai kejelasan kontribusi yang didapat Pemprov Bali dan rakyat Bali dari dua mega proyek reklamasi lahan reklamasi di kawasan Pelindo Benoa dan BTID di Pulau Serangan.
Dia meminta Pelindo Benoa dan BTID memberikan penjelasan terbuka dan transparan ke publik tentang mega proyek yang digarap perusahaan BUMN dan perusahaan swasta tersebut. Pemprov Bali di bawah kepemimpinan Pj Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya bersama DPRD Bali juga didorong melakukan negosiasi dan komunikasi intensif meminta apa yang menjadi hak dan bagian dari Pemprov Bali dan rakyat Bali yang punya hak konstitusional mempertanyakan hal tersebut terlebih sudah adanya payung hukum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali.
“Tidak ada investasi mega proyek apapun turun dari langit semua, karena negosiasi dan tidak ada proyek niskala, Rupiahnya jelas. Yang perlu dicatat, di Bali investasi apa sepanjang memenuhi syarat pasti rakyat Bali asal tidak ujug-ujug dan tidak ada perampasan hak konstitusional masyarakat Bali. Ke depan masyarakat Bali harus lebih sejahtera dengan adanya reklamasi itu,” kata Jero Gede Agung Subudi kepada awak media di Denpasar, pada Selasa, 19 September 2023.
Bahkan Jero Gede Agung Subudi mendukung jika proyek reklamasi di Pelindo Benoa dan BTID Serangan ditutup sementara sampai ada kejelasan apa yang didapat Pemprov Bali dan rakyat Bali dari mega proyek yang telah mengubah bentang Bali, tidak hanya berdampak secara sekala, tapi juga secara niskala. “Kalau tidak ada kesepakatan dengan Pelindo dan BTID, kita dukung Pemprov tutup sementara proyek tersebut, kita hutankan kembali lahan bekas reklamasi. Kalau dikembalikan jadi hutan akan sangat bermanfaat untuk Bali. Karena target pemerintah dengan adanya megaproyek dan investasi di Bali tentu mensejahterakan masyarakat Bali secara luas dan tidak boleh ada investasi merampas hak konstitusional rakyat,” tegasnya.
Di sisi lain, Zakki Hakim selaku Kepala Komunikasi dan Hubungan Masyarakat PT BTID mengaku telah melakukan pengaturan demi kenyamanan dan keamanan di KEK Kura-kura Bali. Mengenai wacana eksklusivitas, ia mengaku sedang melakukan pembukaan bertahap. Kalau investor semakin cepat masuk ke KEK, tentu akan semakin terbuka untuk kawasan umum lainnya. (dan)