Pasca Reklamasi, Pelindo Benoa dan BTID Serangan Harus Tunduk pada UU Provinsi Bali, Jero Gede Agung Subudi: Harus Ada Kejelasan Pemprov dan Rakyat Bali Dapat Apa, Kalau “Gabeng” Tutup Saja!
Foto: Ketua Umum dan Pendiri Badan Independen Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH) Jero Gede Agung Subudi yang juga Pembina Yayasan Bakti Pertiwi Jati (YBPJ).
Denpasar (Metrobali.com)-
Ketua Umum dan Pendiri Badan Independen Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH) Jero Gede Agung Subudi yang juga Pembina Yayasan Bakti Pertiwi Jati (YBPJ) menegaskan masyarakat Bali terus bertanya-tanya mengenai kejelasan kontribusi yang didapat Pemprov Bali dan rakyat Bali dari lahan reklamasi di kawasan Pelindo Benoa dan PT Bali Turtle Island Development (BTID) di Serangan, Denpasar.
Dia meminta Pelindo Benoa dan BTID memberikan penjelasan terbuka dan transparan ke publik tentang megaproyek yang digarap perusahaan BUMN dan perusahaan swasta tersebut. Pemprov Bali di bawah kepemimpinan Pj Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya bersama DPRD Bali juga didorong melakukan negosiasi dan komunikasi intensif meminta apa yang menjadi hak dan bagian dari Pemprov Bali dan rakyat Bali yang punya hak konstitusional mempertanyakan hal tersebut terlebih sudah adanya payung hukum Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali.
“Tidak ada investasi megaproyek apapun turun dari langit semua karena negosiasi dan tidak ada proyek niskala, rupiahnya jelas. Yang perlu dicatat, di Bali investasi apa sepanjang memenuhi syarat pasti rakyat Bali asal tidak ujug-ujug dan tidak ada perampasan hak konstitusional masyarakat Bali. Ke depan masyarakat Bali harus lebih sejahtera dengan adanya reklamasi itu,” kata Jero Gede Agung Subudi kepada Metro Bali Selasa 19 September 2023.
Bahkan Jero Gede Agung Subudi mendukung jika proyek reklamasi di Pelindo Benoa dan BTID Serangan ditutup sementara sampai ada kejelasan apa yang didapat Pemprov Bali dan rakyat Bali dari megaproyek yang telah mengubah bentang Bali, tidak hanya berdampak secara sekala tapi juga secara niskala.
“Kalau tidak ada kesepakatan dengan Pelindo dan BTID, kita dukung Pemprov tutup sementara proyek tersebut, kita hutankan kembali lahan bekas reklamasi. Kalau dikembalikan jadi hutan akan sangat bermanfaat untuk Bali. Karena target pemerintah dengan adanya megaproyek dan investasi di Bali tentu mensejahterakan masyarakat Bali secara luas dan tidak boleh ada investasi merampas hak konstitusional rakyat,” tegasnya.
Lebih lanjut Jero Gede Agung Subudi memaparkan bahwa disahkannya Undang-Undang Provinsi Bali merupakan lembaran baru yang dibuka oleh Provinsi Bali, Gubernur dan DPRD Bali. Ditambahkannya dengan adanya proyek reklamasi dari BTID dan Pelindo Benoa maka bentang daratan Bali bertambah yang awalnya di kawasan tersebut berupa lautan. Jero Gede Agung Subudi menilai masyarakat Bali tidak akan mempermasalahkan proyek tersebut sepanjang semua prosedur dilalui dengan cara-cara yang benar.
“Reklamasi itu bagian daripada Pulau Bali sekarang dan itu memang akan dikelola, satu dikelola oleh Pelindo, satu lagi dikelola oleh swasta. Satu BUMN, satu swasta. Jadi masyarakat Bali tentu tidak akan mempermasalahkan itu sepanjang semua prosedur dilalui dengan secara benar,” terang aktivis lingkungan yang juga pengusaha ini.
Namun menurut Jero Gede Agung Subudi yang menjadi pertanyaan masyarakat Bali selama ini adalah apa kontribusi proyek tersebut terhadap masyarakat Bali itu sendiri. Apalagi semua masyarakat Bali memiliki hak konstitusi untuk mengetahui hal tersebut, terutama setelah disahkan undang-undang Provinsi Bali. Jangan sampai pihak BTID dan Pelindo tutup mata, tutup kuping, yang kemudian dikhawatirkan akan menjadi bom waktu.
“Jangan sampai nanti itu diam-diam lah. Itu yang kita tidak harapkan. Sehingga bisa menjadi bom waktu. Kapan waktu nanti meledak dan tidak ada yang benar di situ, semuanya akan menjadi salah,” ungkap Subudi yang juga merupakan CEO Pasifik Group-Bali, NTT, NTB (perusahaan yang sangat konsern pada investasi berbasis pelestarian lingkungan) ini.
Jero Gede Agung Subudi mengatakan lebih lanjut sebelum hal buruk terjadi ia selaku aktivis maupun masyarakat Bali mendorong Pemprov Bali, dalam hal ini Gubernur dan DPRD untuk segera berkomunikasi dengan pihak BTID dan Pelindo dan segera menyampaikan hasil komunikasi itu kepada masyarakat Bali terkait apa yang didapat oleh Bali dari proyek BTID dan Pelindo tersebut.
Sementara saat ditanya apakah sejauh ini ada kontribusi dari Pelindo dan BTID terhadap PAD (Pendapatan Asli Daerah) atau pemasukan ke Provinsi Bali, Jero Gede Agung Subudi mengatakan bahwa sepengetahuannya belum ada kontribusi apapun dari proyek tersebut terhadap Bali. Namun dengan adanya undang-undang Provinsi Bali tersebut pihak BTID dan Pelindo wajib tunduk dengan undang-undang tersebut.
“Apapun yang terjadi di Bali, mau reklamasi, itu memang harus tunduk mereka, mereka masuk dulu aturan Provinsi Bali dan mereka sebagai investor berinvestasi di Bali di BTID maupun di Pelindo, itu harus tunduk dengan undang-undang Provinsi Bali dan masyarakat Bali punya hak konstitusi untuk mengetahui itu dan tidak boleh diam-diam, harus disampaikan secara terang benderang supaya tidak menjadi bom waktu di kemudian hari,” sebutnya.
Terkait dengan mekanisme seperti apa yang harus diambil untuk memastikan Bali mendapat kontribusi dari proyek tersebut Jero Gede Agung Subudi mengatakan bahwa Pemprov Bali harus berkomunikasi dengan pihak BTID dan Pelindo untuk merumuskan skema terbaik sehingga ada kontribusi dari proyek tersebut terhadap masyarakat Bali.
“Saya pikir begini Pemprov Bali kan bisa berkomunikasi dengan mereka, membuat skema, apakah itu persentase wilayah atau tanah umpamanya, katakanlah sekarang contoh reklamasi 100 hektar umpamanya, berapa persen dari 100 hektar itu untuk Provinsi Bali dan nanti akan dikelola bersama sama. Jadi dengan itu mudah masyarakat Bali mengetahui skema nya. Skemanya jelas,” urai Subudi menjelaskan pemikirannya.
Terkait dengan munculnya persepsi bahwa BTID dan Pelindo ini seolah-olah mendapatkan tanah gratis, Jero Gede Agung Subudi mengatakan bahwa hal tersebut yang saat ini menjadi pertanyaan. “Jadi Bali diurug, tapi kami sebagai masyarakat Bali mengatakan itu adalah reklamasi, sekarang mungkin diperhalus menjadi revitalisasi. Kami masyarakat Bali mengatakan itu adalah reklamasi, clear bahasanya dan itu seolah olah tidak jelas posisinya,” sambung tokoh yang juga penekun spiritual dan Pembina Yayasan Bakti Pertiwi Jati (YBPJ) sebagai yayasan yang bergerak pada pelestarian situs ritus Bali.
Jero Gede Agung Subudi kemudian mengatakan dengan adanya undang-undang Provinsi Bali, masyarakat Bali tentunya ingin mengetahui keuntungan yang didapat Bali dari proyek BTID dan Pelindo tersebut. Sekali lagi ia menegaskan pentingnya Pemprov Bali menjalin komunikasi dengan pihak BTID dan Pelindo sehingga ada kejelasan kedepannya.
“Bali dapat apa? Kalau memang bentang daratan itu bertambah. Jadi di bentang daratan baru itu Bali mendapatkan apa? Berapa persen dari reklamasi itu masuk dalam kekuasaan masyarakat Bali, dalam hal ini adalah Pemprov. Jadi ini penting tidak ada istilahnya ngurug, reklamasi diam-diam, bla bla bla, akhirnya sudah tidak ada bekasnya. Ini harus wajib Pemprov Bali untuk menyampaikannya dan bersama sama dengan pihak BTID dan Pelindo,” katanya blak-blakan.
Terkait dengan kemungkinan adanya pembatasan-pembatasan yang diberlakukan kepada masyarakat di sekitar proyek reklamasi, Jero Gede Agung Subudi mengatakan informasi tersebut perlu untuk diklasifikasi mengingat saat ini banyak sekali beredar berita hoax. “Inilah yang perlu diklarifikasi. Banyak sekali, kita tidak mau ada fitnah-fitnah, hoax dan sebagainya akan bertebaran di kemudian hari. Ini perlu diklarifikasi,” tegasnya.
Jero Gede Agung Subudi menjelaskan bahwa kawasan Pulau Bali dan pantai di Bali itu adalah kawasan suci bagi masyarakat Hindu. Jadi tidak ada hak konstitusi yang melarang masyarakat Bali untuk datang ke pantai di manapun di seluruh Bali sepanjang tidak merusak. Ditambahkannya jika memang bentangan pantai dijadikan tempat pariwisata, tentu harus ada aturan mainnya dan bukan melarang masyarakat untuk masuk ke pantai.
“Jadi tidak semua orang juga berduyun duyun boleh ke sana dan sebagainya. Karena itu kan kawasan, kawasan pantai yang yang memang dimanfaatkan untuk pariwisata umpamanya. Jadi tentu larangan tidak kita harapkan terjadi, tapi ada ketentuan-ketentuan yang harus dipahami oleh masyarakat Bali tentunya. Jadi kita tidak juga alergi dengan ketentuan-ketentuan yang dipasang atau disampaikan kepada khalayak untuk kalau memang melakukan ritual di pantai tertentu, itu tidak dilarang, tapi ada ketentuan-ketentuan yang juga kita harus sepakati,” paparnya lebih lanjut.
Terkait dengan harapan kepada Pj Gubernur Bali, khususnya dalam konteks kontribusi yang bisa didapatkan Bali dari proyek Pelindo maupun BTID, Jero Gede Agung Subudi mengatakan Pemprov Bali dalam hal ini Gubernur dan DPRD Bali harus mengambil langkah-langkah taktik dan strategis untuk membuktikan bahwa undang-undang Provinsi Bali tersebut memang sangat bermanfaat untuk masyarakat Bali, utamanya dalam hal menyikapi luasan bentangan daratan yang baru.
“Clear itu di sana. Reklamasi ini seperti apa? Kita mendapat apa? akan mendapatkan APBD, apa bentuknya dari kawasan itu dan sebagainya, itu perlu disampaikan dan ini yang kita harapkan dan kita dorong. Negosiasi sampai selesai dan itulah yang harus disampaikan. Jadi itu yang sudah harus diklarifikasi dan disampaikan secara gamblang,” katanya.
Jero Gede Agung Subudi kembali menegaskan bahwa masyarakat Bali memiliki hak konstitusi untuk menanyakan kejelasan dari proyek reklamasi BTID dan Pelindo tersebut. Jangan sampai seolah olah wilayah masyarakat Bali sekarang sudah menjadi daratan, kemudian dirampas oleh investor maupun BUMN, namun masyarakat Bali sendiri terusir.
“Tentunya itu tidak boleh terjadi dan Pemprov waktu zamannya Gubernur Koster itu melakukan penutupan. Kita harus setop itu kalau memang belum negosiasi di Pelindo, kalau nanti ujungnya ternyata komunikasi dan negosiasi bermasalah atau dead lock, tutup saja sementara. Masyarakat Bali akan mendukung, dijamin 1000% masyarakat Bali akan mendukung kalau memang tidak ada kesepakatan,” urainya.
Jero Gede Agung Subudi menambahkan ketika tidak ada kejelasan kesepakatan, atau manfaat yang didapat oleh Pemprov Bali atau masyarakat Bali dari proyek Pelindo dan BTID, sebaiknya proyek tersebut ditutup sampai ada kejelasan demi kebaikan bersama.
“Tidak ada istilahnya sekarang saling menekan atau membully, enggak boleh terjadi di Bali. Saling menekan, saling merasa paling berhak tidak boleh ada di Bali. Di Bali adalah kesetaraan, kita di sini mengenal dengan Rwa Bhineda, Tat Twam Asi dan Tri Kaya Parisudha, itu semua kita jadikan pegangan bahwa kita tidak akan pernah berbicara, bertindak, berpikir itu saling tumpang tindih enggak pernah dan kita semua setara. Nah kesetaraan inilah yang perlu kita jaga,” katanya mengingatkan.
Dalam arti kata lain ketika masyarakat Bali kesetaraan atau rasa keadilannya terusik, pasti mereka siap puputan untuk mempertahankan tanah Bali. Dan Ketika mempertahankan hak tanah untuk khalayak ramai, maka akan dipertahankan sampai titik darah penghabisan.
“Pertanggungjawaban manusia Bali itu adalah Niskala dulu, baru Skala. Karena kalau kalau Niskala nya kita abaikan itu akan berdampak yang sangat buruk kepada masyarakat Bali secara luas. Akan menghasilkan hal yang sangat negatif. Itu yang diyakini,” pungkas Jero Gede Agung Subudi. (wid)