Denpasar, (Metrobali.com)-

Wayan Koster Disebut Strong Leader oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, Fenomena Apa Ini? Mungkin penggambaran dari lanskap politik kekuasaan selama lima tahun di Bali yang hegomonik.

Hal itu dikatakan Jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik, Senin 11 September 2023 menanggapi pendapat Mendagri Tito Karnavian saat acara serah terima penjabat Gubernur Bali dari Wayan Koster ke Sang Made Mahendra Jaya.

Menurut Jro Gde Sudibya, kekuasaan yang hegemonik, “mengusai” parlemen, mengkooptasi gerakan masyarakat sipil, sehingga melemahkan kontro sosial “cheks and balances” , memggiring media untuk tujuan tujuan tertentu.

Politik lanskap semacama itu, kata Sudibya sangat memerosotkan demokrasi. Ini terbukti indeks demokrasi Bali turun dari skore 4 ke posisi 12, sehingga agaknya berlaku juga “aksioma” sosial, demokrasi turun berbarengan dengan meningkatnya persepsi korupsi.

Dikatakan, dari lanskap politik Bali yang hanya dari seorang Gubernur itu maka lahirlah proyek mercu suar yang tidak melibatkan partisipasi publik. Partisipasi publik yang bermakna, meaningfull participation, dalam proyek: Besakih yang mencemari kesucian Pura Besakih, Pusat Kebudayaan Bali (PKB) Klungkung yang merusak lingkungan, Jalan Tol Gilimanuk – Mengwi yang “menerjang” 480 ha sawah nan subur, dan “mematikan” sekitar 80 Subak.

Padahal menurut Jro Gde Sudibya, gerakan Reformasi 25 tahun yang lalu, salah satu sasarannya adalah mengakhiri fenomena strong leader yang otoritarian dan atau semi otoritarian, tidak cocok dengan proses demokrasi yang bermartabat.

“Kualitas demokrasi di Bali mundur ke era sebelum gerakan reformasi? Agaknya karena kepentingan kekuasaan dengan siklus lima (5) tahunannya, ada pihak mengalami “penyakit” dimensia, lupa akan masa lalu yang saat saat mahasiwa se-Indonesia melakukan gerakan sosial dan perubahan bangsa ini,” kata Jro Gde Sudibya.

Ditambahkan, bahwa lanskap politik Bali yang hegomonik ini tidak sesuai dengan ajaran Bung Karno. Lebih membela oligarki ketimbang memikirkan nasib rakyat Bali yang kelaparan saat Covid-19 melanda Bali.

“Padahal Presiden Soekarno sebagai Bapak Pendiri Bangsa, sebelum berakhir kekuasaannya, selalu mewanti-wanti bangsa ini untuk JAS MERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Sebagai intelektual dan bahkan filosof, Soekarno amat sangat paham tanpa kesadaran kesajarahan, sebuah bangsa akan kehilangan batu penjuru untuk menatap dan menciptakan masa depan,” kata jro Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik. (Adi Putra)