Data Rabies ini menunjukkan sinyal rusaknya alam Bali

Oleh : Jro Gde Sudibya

Diberitakan di media sosial (Medsos), per tanggal 5 September 2023 Gubernur Bali Wayan Koster telah berakhir masa jabatannya, diganti PLT dengan rentang waktu sekitar satu setengah tahun, sampai gubernur terpilih dilantik.

Dalam masa jabatan yang akan segera berakhir, gubernur Bali ini selalu menonjolkan dengan bangga “keberhasilan” 44 proyek yang disebutnya 44 proyek peradaban fisik, yang diistilahkan dengan masa Bali Baru. Padahal dalam perspektif peradaban dan kebudaysan Bali, sisi fisik hanya merupakan bagian dari peradaban holistik Bali, fisik material cuma nilai kebudayaan yang “menghablur” dengan nilai spiritualitas, nilai khas Bali dalam perjalanan panjang sejarahnya.

Peradaban fisik, dilepaskan dengan nilai integratif dan konteksnya dengan nilai budaya dan spiritualitas, bukan peradaban Bali namanya. Tdak mengantarkan masyarakat Bali ke mana-mana, apalagi dalam slogan bombastis Bali Era Baru.

Dalam kepemimpinan pasca Wayan Koster diperlukan pendekatan baru yang lebih komprehensif, dalam melakukan transformasi sosial ekonomi yang bernama pembangunan bagi Bali ke depan.

Menyebut saja beberapa nilai-nilai dasar (basic values) dalam membangun Bali ke depan, secara lebih bertanggung jawab:

1.Pembangunan Berbasis Kebudayaan.

Kebudayaan hasil proses cipta, rasa dan karsa, mengandung nilai-nilai otentik kejujuran, keindahan, respek pada alam, tidak lagi dikorbankan untuk proyek pembangunan kapitalistik yang berakar pada keserakahan. Menyimak kembali pemikiran Gubernur Mantra, transformasi sosial ekonomi yang bernama pembangunan, menghasilkan masyarakat lebih seimbang material – spiritual, tidak “melulu” terkooptaasi oleh ekonomisme kehidupan.

2.Program Penyelamatan Bali, Alam, Manusia, Lingkungan, Kebudayaan Skala Niskala.

Kebijakan penyelamatan (safeguard clausule) Bali, mempersyaratkan:
a.Membatasi secara ketat konversi lahan pertanian ke industri dan pemukiman, untuk menjamin ketahanan Bali dalam jangka menengah dan panjang, dan penyelamatan Subak sebagai instrumen penyelamatan kebudayaan, dan konsistensi kita terhadap warisan mulya Rsi Markandya.
b.Migrasi penduduk harus dikendalikan, melalui kebijakan pembangunan yang “ramah”pada penduduk lokal, re design kebijakan pendidikan yang meningkatkan kualitas SDM Bali dalam persaingan, dan mampu mengisi kesempatan kerja akibat perubahan yang berlangsung cepat.
c.RTRW Bali 2023 – 2043 dan aturan turunannya, mesti direvisi dari “rokh” kapitalisme liberal, persaingan bebas, motif keuntungan maksimal dengan merugikan lingkungan. Diganti dengan rokh pembangunan berbasis prinsip SOSIALISME RELIGIUS, yang telah menjadi ciri utama prikehidupan masyarakat Bali yang telah mentradisi. Ekonomi sosialisme religius yang bercirikan: penguasaan alat produksi yang lebih adil, pemerataan pendapatan, keadilan sosial ekonomi.
Sehingga ruang yang tercipta dalam RTRW 2023 – 2043, menetapkan tanah tidak semata-mata komoditas ekonomi yang mudah diperjual belikan, ada ruang waktu yang cukup bagi krama Bali menyiapkan diri merespons perubahan, dan bisa menjadi “tuan di rumahnya sendiri”.

3.Menata ulang kembali strategi pariwisata
Menata ulang kembali strategi pariwisata, dengan melakukan koreksi dan revitalisasi PARIWISATA BUDAYA, dengan prinsip dasar, kedatangan wisatawan merupakan nilai surplus buat Bali yang “modalnya” adalah kebudayaan, sehingga “modal”berharga ini tidak dikorbankan, dipertukarkan dengan imimg-iming keuntungan, popularitas palsu yang dilahirkan oleh kekuatan kapitalisme pariwisata.

Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah 1999 – 2004, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik.