Di area Pusat Kebudayaan Bali (PKB) di Klungkung yang menghabiskan dana triliunan rupiah, kini mulai muncul rawa rawa baru. 

Oleh : Jro Gde Sudibya

Tahun politik di menjelang Pilpres, Pemilu Legislatif, 14 Februari 2024, dan kemudian Pilkada Serentak 27 November 2024, melahirkan ketidak pastian politik (political uncertainty) bagi pejabat publik yang terpilih melalui proses demokrasi prosedural. Ketidak pastian yang mudah melahirkan, menstimulasi stres, stres berkepanjangan dan bahkan depresi, dengan seluruh prilaku yang menyertainya.

Di sini arti penting, daya tahan mental (resilensi), kelenturan, fleksibilitas dalam mengelola, merespons perubahan yang bercirikan ketidak pastian.

Dalam tantangan perubahan penuh ketidak pastian ini, politik sebagai seni mengelola kemungkinan menjadi sangat penting dan menemukan relevansinya.

Risiko politik menjadi sedikit lebih rendah, dan ada kecendrungan lebih mungkin terkelola, jika prilaku politik pejabat publik bercirikan.

Pertama, seni untuk tidak mengambil semuanya, bak lirik sebuah lagu “the winner take it all”, karena akan melahirkan musuh eksternal dan internal terlalu banyak. Padahal filosofi dalam politik, “satu musuh terlalu banyak, sepuluh teman masih kurang”. Rumus semestinya dalam politik, kalau kita menang satu sampai tiga poin, berikan kesempatan “lawan” menang satu poin. Sehingga tercipta suasana internal yang lebih terkelola, akibat terciptanya sebut saja fairness dalam “permainan” politik dan dukungan politik lebih otentik diperoleh.

Kedua, perlakukan tim pendukung secara lebih fair, jauh dari suasana otoriter yang melahirkan suasana ketakutan kerja, yang bercirikan moral kerja merosot, takut salah dan tidak mau mengambil risiko, pasif, sense of belonging hilang. Melahirkan krumunan orang-orang yang mencari aman, “yes man” dan kelompok penjilat. Ketiga, prilaku politik yang otentik, lebih berempati pada rakyat, kejujuran motif dalam perumusan kebijakan publik. Dengan “modal” empati dan kejujuran motif dalam perumusan keputusan publik, diperoleh modal sosial yang besar dari masyarakat pemilih, kepercayaan (trust) yang otentik.

Bali Tuna Kepemimpinan, Leaderless Society

Pertana, jumlah penduduk miskinnya bertambah akibat pandemi, tetapi anggaran penanggulan kemiskinan dalam APBD Bali tahun 2022 tidak memadai.

Kedua, NTP petani Bali 96, tahun 2022, berarti petani dalam kegiatannya merugi, anggaran pertanian tahun 2020 sebesar 1.8 persen dari total anggaran pembangunan. Sedangkan standar FAO 8 persen.

Ketiga, Dana PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) akibat pandemi, tahun 2020 Rp.1.5 T, untuk pemulihan pariwisata Bali, dipergunakan untuk pembebasan dan pengurugan tanah PKB Klungkung, yang bermasalah terhadap lingkungan dan memberatkan beban fiscal daerah untuk 6 tahun ke depan. Apalagi sekarang muncul rawa rawa baru di areah Proyek Pusat Kebudayaan Bali, yang memang dari awal dari sisi lingkungan memang sangat berbahaya. Selain, menjadi jalannnya air saat musim penghujan, tetapi juga dikhawatirkan lahar Gunung Agung akan melewati area mega proyek PKB. Ini sangat mengerikan.

Keempat, ada niatan untuk menyelamatkan subak, tetapi konversi lahan pertanian sekitar 2.000 ha per tahun dibiarkan berlangsung, tanpa program terpadu sebagai instrumen penyelamatan.

Kelima, sebagai tuan rumah lokal G20, melahirkan Kesepakatan Bali G20, 16 November 2022, yang melahirkan kesepakatan al.: pengembangan ekonomi hujau, strategi pembangunan zero carbon, EBT (Energi Baru Terbarukan), tetapi nyatanya proyek mercu suar di Bali, merusak lingkungan, “menerjang”sawah, membiarkan konversi lahan sawah nyaris tanpa pengendalian.

Jro Gde Sudibya, pengamat ekonomi politik dan kebijakan publik.