Denpasar (Metrobali.com)-

Pasca pandemi selama 2.5 tahun, dimana industri pariwisata Bali sempat mati suri, seakan-akan tersingkap kotak pandora yang menjadi permasalahan dasar nan serius yang menimpa Bali.

Angka kemiskinan naik akibar pandemi, standar kehidupan petani yang tidak kunjung membaik, NTP (Nilai Tukar Petani) Bali tahun 2022: 96, yang berarti menjadi petani merugi. Banjir bandang yang menimpa sebagian Bali 10 – 20 Oktober 2022, pada saat musim kemarau, yang menggambarkan ada persoalan lingkungan serius yang dihadapi Bali.

Hutan-hutan utama Bali, Alas Penulisan, Alas Pengejaran, kawasan hutan di seputaran Gunung Agung, Gunung Batukaru terus mengalami pembalakan liar, alih fungsi lahan terus berlangsung, program reboisasi yang setengah hati. Empat danau dan lingkungannya terus mengalami “pengrusakan” tanpa program penyelamatan lingkungan yang serius, terlebih-lebih danau Batur. Ekonomi kerakyatan mengalami tekanan, akibat limpahan krisis ekonomi akibat pandemi.

LPD Bali yang berjumlah lebih dari 1.000 buah dengan nilai aset per akhir Desember 2022 sekitar Rp.25 T, dengan jumlah tenaga kerja hampir 1.000 orang, dibiarkan berjuang sendiri, untuk bisa bertahan hidup. Demikian juga ribuan UMKM antara hidup dan mati, salah satu penyebabnya investasi skala besar dibiarkan masuk ke ekonomi eceran, yang merupakan lahan ekonomi UMKM. Migrasi penduduk yang tidak terkendali, sesuai diktum kehidupan ” ada gula ada semut”, “sinar lampu dipenuhi laron”. Proyek infrastruktur yang dibanggakan penguasa, bias ke ukuran fisik, abai pada lingkungan, sistem keyakinan krama Bali dikorbankan, dalam proyek: PKB Klungkung, Renovasi Besakih, dan juga proyek tol Gilimanuk – Mengwi.

Konversi lahan pertanian sekitar 2.000 ha per tahun, dan menurut perkiraan para pakar pertanian, jika konversi ini tidak dikendalikan, diperkirakan 10 tahun lagi sistem subak yang melegenda ini tinggal nama. Timbul pertanyaan, jika pertanian basah tidak ada, apakah budaya Bali akan bertahan dan turis mau datang?.
Ketergantungan terhadap produk: pangan, keperluan upakara dan produk lainnya, yang menggambarkan ada permasalahan serius produktivitas ekonomi Bali.

Akumulasi permasalahan Bali di atas, tidak akan mampu diselesaikan oleh pemimpin dengan kualifikasi PAREKAN, manusia dengan karakter rapuh, didikte oleh dasa muka kepentingan dari berbagai arah untuk kepentingan diri dan kelompoknya, dan kemudian merugikan Bali dan masa depannya. Pengecut menghadapi tekanan dari PREMANISME “berkerah” putih dan bahkan kelas jalanan. Menggunakan uang entah dari mana asalnya, untuk “membeli” pengakuan, sebagai kompensasi dari rasa rendah diri, akibat karakter aslinya adalah pelayan “buta” sang patron, karakter asli PAREKAN.

Penulis :

Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, ekonom, pengamat ekonomi dan kebijakan publik.