Jro Gde Sudibya, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999- 2004, “juru bicara” Spiritualisme Intelektualitas Sang Putra Fajar

Jakarta, (Metrobali.com)-

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengungkapkan bahwa sosok Marhaen merupakan seorang petani dari Jawa Barat.

Megawati memanggil Marhaen dengan panggilan ‘Pak Marhaen’ saat menyampaikan pidato politiknya di puncak peringatan Bulan Bung Karno di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, Sabtu.

“Ketika Bung Karno sedang kuliah di Bandung, beliau bertemu dengan Pak Marhaen. Beliau (Bung Karno) bertanya begini; ‘Bapak seorang petani, tanah ini punya siapa, punya abdi (saya). Kalau tanaman padi ini punya siapa, punya abdi. Alat- alat cangkul-nya dan sebagainya punya siapa, punya abdi. Kalau sudah dipanen, dijual, uang-nya untuk siapa. Uang-nya untuk abdi,” kata Megawati mengenang percakapan Bung Karno dengan Pak Marhaen.

Menurut Megawati, dari percakapan itu, Bunb Karno berkontemplasi panjang. Ia mengatakan semua sudah dimiliki Marhaen.

Pasalnya, Marhaen memiliki lahan dan alat produksi, akan tetapi hidupnya tetap sederhana dan sekadarnya.

“Maka, Bung Karno merasa bahwa perjuangan ini harus seperti apa yang dimiliki Pak Marhaen,” ujar Megawati.

Dalam mengekstraksi cara berpikir Marhaen, sambung Megawati, Bung Karno melahirkan Pancasila pada 1 Juni 1945.

“Pada waktu yang lalu pun, Pancasila itu sepertinya diredupkan, dipelesetkan. Makanya, harus semua yang namanya anggota PDI Perjuangan belajar lahirnya Pancasila,” jelasnya.

Di sisi lain, Megawati sempat risau tentang konsep pemikiran dan ideologi Marhaen yang kemudian oleh segelintir pihak kerap dikaitkan dengan ide-ide paham komunis.

Megawati meminta mereka yang terpengaruh mengenai pandangan seperti itu terhadap Marhaen untuk belajar sejarah.

“Sering kali orang mempelesetkan katanya kalau Marhaen itu adalah komunis. Padahal, saya sebut Bapak Marhaen,” tutur Megawati.

“Jadi saya sudah pernah loh ada yang tidak percaya itu ada makamnya di daerah Bandung. Jadi jangan dikatakan kalau saya bilang Marhaen, lalu (dituduh Marhaen itu) komunis,” ucapnya.

Bangsa Indonesia Perlu Berhati hati

Jro Gde Sudibya, anggota Badan Pekerja MPR RI 1999- 2004, “juru bicara” Spiritualisme Intelektualitas Sang Putra Fajar sangat setuju dengan pendapat Ibu Megawati tsb di atas.

Dikatakan, dalam berbagai tulisan Soekarno jelas dikatakan, beliau berjumpa dengan petani tersebut pagi hari di bagian Utara Bandung. Menanyakan namanya dan juga kondisi ekonominya.

Sebagaimana tulisan Soekarno dinyatakan, beliau begitu berempati dengan kehidupan petani yang bernama Marhaen, dan merelasikan kondisi personal petani yang bersangkutan dalam konteks kehidupan rakyat jajahan yang lebih luas.

Muncul dalam benak pikiran Soekarno, salah satu cara memperbaiki kehidupan “wong cilik” dengan memberikan kesempatan bagi mereka untuk menguasai alat-alat produksi. Di sini arti penting peran negara, membela kepentingan ekonomi bagi rakyatnya.

Dikatakan, paham pemikiran Soekarno tentang kemampuan petani, wong cilik menguasai alat produksi, dan menjadi tuan dalam mengatur ekonomi rumah tangganya. Melawan eksploitasi, mengangkat hatkat dan martabat dirinya sebagai warga negara. Akumulasi pemikiran ekonomi – kerakyatan – kebangsaan ini disebut Soekarno sebagai Marhaenisme.

“Para pakar menyebut Soekarno sebagai pemikir sosialis kebangsaan. Hatta sebagai pemikir sosialis kesejahtetasn. Sjahrir sebagai pemikir sosialis humanis,” kata Jro Gde Sudibya.

Lanjut Gde Sudibya, jika kita menyimak dengan baik, pergulatan pemikiran tokoh bangsa ini dalam beberapa dasa warsa dan gerakan perjuangannya merebut kemerdekaan, main stream pemikiran di era para pemikir pejuang di era itu, adalah menghindar dan keluar dari jebakan ideologi besar yang mendominasi. Kapitalisme di satu pihak dan Komunisme di pihak lainnya.

“Karena penjajah adalah penganut sistem kapitalisme, sehingga lahir streotipe (prasangka) yang tidak benar, negara-negara jajahan yang berjuang untuk kemerdekaan identik dengan penganut komunisme,” katanya.

Dalam kasus Indonesia, menyimak perjuangan the founding fathers: Soekarno, Hatta, Sjahrir dan tokoh lainnya seperti HA Salim, KH Wahid Hasjim, stigma Indonesia dalam menempuh perjuangan kemerdekaan satu “perahu” dengan negara- negara komunis dan menjadi komunis adalah stigma yang salah.

Singkat cerita, lanjut Jro Gde Sudibya tuduhan terhadap sang proklamator sebagai penganut komunisme, adalah sebuah fitnah yang kejam, dilandasi oleh ketakutan akan simbol Soekarno sebagai sosok pemersatu bangsa, dengan pemikiran besarnya, paham kebangsaan the nation state, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, bagi. mereka yang masih punya mimpi untuk mengganti Pancasila dengan paham khalifah dan sejenisnya.

Gelising cerita, kata juru bicara” Spiritualisme Intelektualitas Sang Putra Fajar ini, sosok Soekarno adalah pemimpin bangsa yang melampaui zamannya, great leader beyond the age. Sehingga jikavbangsa ini diterpa krisis seperti politik identiras SARA, sebagian besar bangsa ini kembali berpaling pada pemikiran cerdas dan visioner Soekarno. Demikian juga dengan isu-isu lainnya. (Adi Putra)