Kenaikan Harga BBM, Telah Membohongi Rakyat
Denpasar (Metrobali.com)-
Rencana kenaikan harga BBM yang akan diberlakukan Pemerintahan Presiden SBY mulai April 2012 nanti, telah membuat situasi keamanan dalam negeri menjadi genting. Protes terjadi di berbagai kota di Indonesia, hingga TNI mulai dikeluarkan untuk memback up Polri. Protes muncul lantaran pemerintah gegabah dalam mengeluarkan kebijakan rencana menaikan harga BBM. Karena seharusnya, pemerintah tidak perlu menaikan harga BBM hanya menuruti melambungnya harga minyak dunia.
“Seharusnya Indonesia senang karena kita sebagai produsen minyak. Bukan malah panik kemudian mengambil alasan-alasan penaikan harga BBM semaunya sendiri dan tidak masuk akal,” ujar anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Nyoman Dhamantra di Denpasar, Minggu (25/3).
Menurut Dhamantra, prinsip kenaikan harga BBM yang dilakukan demi menyehatkan dan menyelamatkan APBN 2012, sangat ganjil. Seharusnya ketika harga minyak mentah naik mencapai di atas 105 dollar AS per barrel, Indonesia bersorak. Karena Indonesia sebagai salah satu negara penghasil minyak. “Namun yang terjadi, pemerintah kok malah panik. Ada apa ini?” tanya Dhamantra.
Menurut Dhamantra, saat ini pemerintah mendapatkan kelebihan uang dari penjualan BBM ke Pertamina sebesar Rp 97,955 triliun. Jumlah itu berasal dari hasil penjualan BBM ke Pertamina sebesar Rp 224,546 triliun setelah dikurangi Rp 126,591 triliun kekurangan uang di Pertamina. Kekurangan sebesar Rp 126,591 triliun itulah yang selama ini disebut pemerintah sebagai ‘subsidi’.
“Apa benar jika itu disebut subsidi, karena uang itu juga berasal dari hasil penjualan BBM ke Pertamina yang kemudian menyisakan kelebihan Rp 97,955 triliun. Kalau saat ini pemerintah dari penjualan BBM sudah punya kelebihan uang sebesar Rp 97,955 triliun, untuk apa harus menaikan harganya lagi? Bukankah itu hanya akan memperbanyak uang pemerintah dengan cara menekan rakyatnya untuk membeli BBM dengan harga tinggi? Untuk apa pemerintah mengumpulkan uang banyak-banyak dari rakyatnya, sementara kesejahteraan tidak juga meningkat? Atau, karena pemerintah boros membelanjakan APBN untuk hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan kesejateraan rakyatnya?” papar politisi PDIP ini.
Sebagai gambaran, lanjut Dhamantra, tahun 2004 saat Megawati menjadi Presiden, APBN sekitar Rp 500 triliun. Selama SBY menjadi Presiden, APBN membengkak hingga sekitar Rp 1.400 triliun. “Tapi kenyataannya, pembengkakan hingga Rp 900 triliun tersebut tidak berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat. Penggangguran dan kemiskinan tak tertangani, infrastruktur pun banyak yang rusak dimana-mana,” tekan Dhamantra.
Menurut Dhamantra, ini terjadi karena pemerintah boros dan lebih menggunakan uang untuk belanja sosial. Bukan untuk meningkatkan daya saing rakyat yang nantinya akan menjadi tangga berjalan menuju kesejahteraan.
Bagi Dhamantra, jika berbicara soal belanja sosial, tidak jauh dari upaya pencitraan saja. Dimana saat rakyat mengganggur dan kelaparan, hanya dikasih permen. Itulah akal-akalan yang disebut dengan belanja sosial.
“Nah, apakah rencana kenaikan harga BBM ini juga terkait dengan pengumpulan uang untuk kegiatan belanja sosial pemerintah yang akan terus dibengkakan seiring semakin dekatnya agenda Pemilu dan Pilpres? Ini sungguh tidak berperikemanusiaan. Uang rakyat disedot dengan alasan kesehatan APBN, padahal pembelanjaan APBN tidak tepat sasaran karena lebih banyak untuk belanja sosial,” tukas Dhamantra.
Untuk itu, lanjut Dhamantra, PDIP resmi menolak kenaikan harga BBM, dan akan terus melobi partai yang lain. Diharapkan, saat sidang paripurna nanti, rencana pemerintah tersebut bisa digagalkan. SUT-MB
3 Komentar
Dibutuhkan kejujuran pemerintah dan rakyat harus dukung fakta seperti ini,jangan apriori yang mengakibatkan pemerintah seenaknnya membodohi rakyat.
Indonesia itu negeri yang sedang sakit tetapi tidak pernah sadar jika sedang sakit, begitu kata seorang teman mengamati gejolak dan perkembangan di negeri ini. Memang banyak kemajuan yang dapat diraih, lanjutnya lagi, namun berbanding lurus dengan kerusakan yang juga didapat. Begitulah kegemasan sahabat itu ketika berlanjut membahas soal pembatasan premium bersubsidi yang rencananya akan diberlakukan mulai bulan April nanti.
Bagaimanapun juga subsidi memang membebani keuangan negara selain memiliki resiko menyuburkan penyelewengan. Apalagi saat membandingkan harga BBM bersubsidi dan non subsidi yang begitu besar, disparitas harga itu tentunya akan sangat menarik para pemburu rente untuk ikut bermain kotor. Jika ini yang terjadi maka subsidi yang diberikan menjadi tidak tepat sasaran dan menjadi tanggungan rakyat yang membayar pajak.
Sementara di saat pemerintah membatasi subsidi premium bagi rakyatnya sendiri, dengan mudah pemerintah mengobral sumber daya alam yang dimilikinya kepada pemodal-pemodal asing. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan BUMN yang telah mampu berkembang baik dan menghasilkan keuntungan dengan mudah dilepas kepemilikannya kepada para pemilik modal. Mulai dari Telkom, Perusahaan Gas Negara, Indosat, Telkomsel dan puluhan BUMN lain dijual dengan harga murah. Nampaknya keuntungan sesaat selalu menjadi landasan berpikir tanpa menimbang kelangsungan kehidupan rakyat di masa datang.
Entah bagaimana alur pikir para pembuat kebijakan itu saat membatasi subsidi bagi rakyatnya sementara mereka justru memberikan subsidi kepada warga negara lain. Salah satu contohnya adalah ekspor gas alam sebanyak 300 MMBTUD (Million Metric British Thermal Units per Day) ke Malaysia dengan harga yang murah yaitu sekitar US$ 3/MMBTUD, jauh sekali dibandingkan Singapura yang harus membelinya seharga US$ 11/MMBTUD. Demikian juga dengan kontrak penjualan gas alam dari ladang gas di Tangguh ke Fujian, China, seharga US$ 3,35/MMBTUD, yang murah sekali jika dibandingkan dengan harga jual ke Jepang yaitu US$ 17/MMBTUD.
Dengan rata-rata harga penjualan gas domestik di kisaran US$ 5/MMBTUD maka dari penjualan gas alam ke Malaysia dan China itu saja, Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan sebesar 40 triliun rupiah pertahun. Sungguh suatu kehilangan yang sangat besar yang akibat kesalahan para pengambil kebijakan.
Padahal sesuai kontrak selama 25 tahun, Indonesia yang mulai mengekspor gas alam ke Malaysia sejak tahun 2002 lalu itu baru akan berakhir pada tahun 2027. Sungguh menjadi suatu ironi saat para pengusaha keramik satu per satu gulung tikar atau mengurangi produksi karena kekurangan pasokan gas, justru gas itu dijual dengan harga murah ke luar negeri demi mengejar target APBN.
Hal serupa itu juga dialami oleh PLN yang harus membeli gas sebagai penggerak pembangkit-pembangkit listriknya dengan harga yang lebih mahal dari harga yang didapat oleh Malaysia dan China. Padahal PLN adalah perusahaan negara yang seharusnya mendapatkan prioritas mendapatkan gas alam mengingat fungsinya utamanya menyediakan listrik bagi rakyat Indonesia. Bahkan di era Dahlan Iskan, PLN sempat meminta pasokan gas dari Tangguh di kisaran harga US$9/MMBTUD, tiga kali lipat dari nilai kontrak dengan China, karena kurangnya pasokan gas dan tingginya harga solar. Seharusnya, dengan menyandang tugas melayani masyarakat tentunya pemenuhan kebutuhan gas bagi PLN menjadi prioritas terlebih ketersediaan listrik adalah salah satu faktor yang akan memacu tumbuhnya perekonomian.
Pada tahun 2012 ini memang pemerintah memiliki rencana merenegosiasikan kontrak-kontrak yang dianggap merugikan. Namun berkaca dari wacana pemerintah merenegosiasikan kontrak dengan PT Freeport yang tak kunjung usai, maka kita tidak usah berharap terlalu banyak. Diplomasi dan lobi dari yang lembek dari para pejabat kita dan ketakutan terhadap gertakan dari negara-negara lain juga menjadi catatan agar kita tidak kaget jika renegosiasi itu tidak membuahkan hasil.
Pengelolaan gas alam yang bisa disebut serampangan itu hanyalah salah satu gambaran bagaimana sakitnya pengelolaan negar a ini. Belum lagi bila dilebarkan ke beragam sektor seperti industri perkebunan dan perikanan yang tak jauh beda kerusakannya. Entah sampai kapan kondisi seperti ini akan berubah menjadi lebih baik, menjadikan kemakmuran rakyat Indonesia sendiri bukan malah memberikan subsidi bagi Malaysia dan China.
jangan bohongi rakyat…………