Bali, Taman Sari Kehidupan, Sekarang Dihadapkan dengan Goncangan Keras dengan Risiko Tinggi
Ilustrasi : Sebuah mobil sutel listrik terbakar Jumat (14/04/2023) Jam 4 pagi di area Parkir Jaba Pura Besakih, karena konslet tapi saat itu sudah dapat dipadamkan oleh petugas pemadam kebakaran.
Denpasar, (Metrobali.com)-
Diberitakan di medsos, di menjelang prosesi Ida Bhatari Dewi Danuh “keaturan bhakti penyineban”, muncul “sasmita” Alam, “angin puting beliung” bertiup kencang. Rasanya, sebagai pengingat (pewungu) kembali tentang pesan makna : Alam Bali identik dengan Taman Sari Kehidupan.
Hal tersebut dikatakan Ketua Forum Penyadaran Dharma (FPD) Bali Jro Gde Sudibya, Selasa 18 April 2023 memperhatikan tanda tanda alam menjelang penyineban Ida Bhatari Dewi Danuh yang sangat berbeda dari hari hari sebelumnya muncul “sasmita” Alam.
Dikatakan, Taman Sari Kehidupan yang sudah semestinya dirawat, dijaga, melalui laku bersama “skala-niska” penuh ketulusan dan sikap mawas diri, sebagaimana geguritan Sucita-Subudi di bawah ini.
“Da mangutang yatna, Undagan ideppe lingling, Da drupon manyujuh sukla, Apan tuhu lintang sulit, Apang da dadi nungkalik, Nyudya mertha wesia tepuk, Yan tan prasida kreseng hati, Da mamurug, Apang da dadi pangenan”.
“Bali sebagai ” Taman Sari Kehidupan”, dewasa ini banyak sekali mengalami tekanan, ancaman dan goncangan keras, akibat dari prilaku kekuasaan sebut saja melakukan deprofanisasi dan desakralisasi Besakih, dan bahkan lebih jauh, ditafsirkan oleh publik melakukan politisasi pada saat piodalan Betara Turun Kabeh, melalui kampanye terselubung,” kata pengamat sosial dan politik Jro Gde Sudibya.
Dikatakan, tindakan yang tidak patut dari sisi “anggah-ungguh” menjaga kesucian Pura Besakih (manut Purana Besakih) dan manut Desa, Kala, Patra yang menjadi rujukan umum dalam prilaku di Bali.
“Pura Besakih “uluning jagat Bali”, diyakini oleh krama Bali (Re.Purana Besakih), setiap “gangguan” terhadap Besakih, mengganggu keseimbangan pulau Bali, “skala lan niskala”, dengan risiko konsekuensi yang sulit dibayangkan,” katanya.
Dikatakan, goncangan keras terhadap Bali, dari perspektif sosiologi pembangunan dapat diartikan sebagai “dark numbers” jumlah kegelapan dan “black spot” titik-titik hitam-gelap yang menodai sejarah Bali.
“Sudah semestinya krama Bali segera sadar dengan jebakan risiko ini, dengan biaya sosial dan kultural yang tidak terperikan,” Jro Gde mengingatkan. (Adi Putra)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.