Peserta Bali NFT Week Kunjungi Samsara Living Museum, Rasakan Kekuatan Wellness Tradisional Bali dan Bali yang Otentik, Kampanyekan Mental Health Awareness
Foto: Para peserta Bali NFT Week mengunjungi Samsara Living Museum di Desa Jungutan, Kecamatan Karangasem, Bebandem, Minggu (11/9/2022).
Karangasem (Metrobali.com)-
Soulrich bersama Meta Forest Society, Immerse VR, Earth Wallet dan Samsara Living Museum menyelenggarakan Bali NFT Week pada 8-16 September 2022 di Bali yang diikuti 40 influencer Web 3 dan praktisi Web 3 seperti pegiat NFT dan kripto dari berbagai negara di dunia. Para peserta Bali NFT Week ini juga mendapatkan pengalaman merasakan Bali yang otentik saat mengunjungi Samsara Living Museum di Desa Jungutan, Kecamatan Karangasem, Bebandem, Minggu (11/9/2022).
Agenda Bali NFT Week dibagi menjadi dua yakni 4 Days Retreat pada 8-12 September 2022 dan Creative Camp pada 13-16 September 2022. Kehadiran para peserta Bali NTF Week di Samsara Living Museum ini menjadi bagian dari retreat atau semacam upaya untuk mencari ketenangan di tempat yang jauh dari keramaian untuk memberikan waktu istirahat bagi tubuh, pikiran dan jiwa (body, mind and soul) sehingga bisa menemukan kembali kedamaian dalam diri.
Mereka merasakan langsung wellness tradisional Bali (metode dan sarana meningkatkan kesehatan badan, pikiran, jiwa) di tempat yang penuh kedamaian, jauh dari hiruk pikuk keramaian, di tempat yang menjadi potret Bali yang otentik dan masih lestari di tengah modernisasi. Hal ini memang sejalan dengan fokus dari Bali NFT Week yang memberikan perhatian besar pada isu mental health awareness (kesadaran kesehatan mental) di komunitas Web 3.
Inisiator Bali NFT Week Regi Wahyu yang juga Founder Meta Forest Society menerangkan Bali NFT Week hadir bersama-sama dengan 40 influencer internasional hadir di Bali untuk mendiskusikan dan mencari cara bagaimana menjalankan misi untuk menyelamatkan Web 3 yang semakin lama semakin mengkhawatirkan khususnya berkaitan dengan persoalan dan isu kesehatan mental atau mental health. Selain itu, Bali NFT Week juga menghadirkan pameran karya NFT, acara music di sejumlah klub di Bali.
“Kenapa mengkhawatirkan? Karena permasalahan dari mental health seperti kecemasan dan segala macam dinamika yang ada di Web 3 yang menjadi permasalahan kebanyakan orang di seluruh dunia. Jadi banyak kegiatan kita lakukan selama beberapa hari di Bali NFT Week bersama teman-teman kita di komunitas yang peduli terhadap mental health awareness, soul searching, restore the Web 3, Web 3 humanity dan segala macam. Itu kita lakukan mulai dari kegiatan panel diskusi dimana kita mencoba mencari solusi dari kenapa Bali, mental health itu seperti apa, social impact seperti apa dan kita bersama-sama komit untuk bisa menjalankan ini bersama,” terang Regi Wahyu.
Terkait kunjungan ke Samsara Living Museum, Regi Wahyu menjelaskan bahwa ini menjadi bagian perjalanan untuk lebih dalam mempelajari diri sendiri dan para komunitas yang hadir agar bisa lebih mengapresiasi keunikan budaya Bali. Khususnya juga merasakan langsung bagaimana pengalaman Bali yang otentik di Samsara Living Museum sehingga juga para influencer ini bisa mempromosikan pengalaman mereka kepada seluruh dunia termasuk juga mengkampanyekan mental health awareness.
“Yang hadir 40 orang ini bukan hanya dari Amerika saja, akan tetapi juga Korea, Kanada, Italia, India, Rusia, China, dan Jerman. Jadi ini memang benar-benar internasional event dan private eksklusif. Dan ini akan dipromosikan untuk bagaimana kita bisa mensosialisasikan pentingnya untuk punya mental health dan mental awareness yang tinggi di era Web 3 ini,” ungkapnya.
Regi Wahyu mengakui dirinya secara pribadi jatuh cinta pada Samsara Living Museum dan mengundang influencer dunia merasakan pengalaman unik di tempat ini serta memberikan dukungan terhadap upaya pelestarian budaya Bali yang otentik. Salah satunya memperkenalkan siklus kehidupan manusia Bali yang memberikan banyak nilai positif bagi kehidupan.
“Saya sebagai host dari Bali NFT Week tentunya saya ingin men-support Samsara terhadap misinya di mana misinya sangat mulia dan sangat bagus yaitu melestarikan budaya asli Bali di tengah hiruk pikuk yang ada di dunia ini, komersialiasi dan segala perubahan yang terjadi. Kerena 14 tahap dari hidup manusia itu perlu orang banyak tahu. Karena itu yang menjadikan manusia Bali seperti yang kita kenal sekarang dengan segala kebaikan dan kemurahan hati serta perilaku yang sangat positif,” ungkapnya.
Lebih lanjut Regi Wahyu menjelaskan persoalan mental health dan mental health wareness menjadi hal yang krusial di dunia Web 3. Karena saat ini yang terjadi sebenarnya informasi sudah overload dan mengalirnya cepat sekali. Makanya banyak orang yang memasuki Web 3, yang salah satu komponennya ada NFT dan kripto, ketika mereka tiba-tiba mendapatkan uang yang cukup banyak dan tiba-tiba juga kehilangan uang yang mereka investasikan, secara mental mereka terganggu.
“Aliran informasi sangat cepat sehingga kita sebagai manusia yang punya pikiran yang cukup limited dan kadang-kadang juga kita bingung mencari informasi itu mana yang benar-benar bermanfaat bagi kita. Dan kita juga kenal yang namanya Fear of Missing Out atau FOMO. Itu juga yang kadang-kadang menyebabkan mental kita menjadi terganggu sehingga untuk melakukan do your own research tidak kita lakukan secara proper karena kita terburu-buru,” katanya.
“Apalagi kita hidup di dunia online belum pernah ketemu mereka secara fisik. Makanya ajang Bali NFT Week ini kita kumpulkan orang-orang yang sudah pernah ketemu secara online dan kita pertemukan secara offline sehingga kita benar-benar punya chemistry dan relationship yang bagus,” bebernya.
Mengenai output Bali NFT Week terhadap perkembangan NFT ke depan, Regi Wahyu menjelaskan Bali NFT Week lebih menitikberatkan kepada the New Trend, bukan hanya sekedar gambar 2D, 3D atau visual grafik lainnya, tapi masuk pada musik, konten kreatif lainnya seperti puisi atau sajak, dokumenter, film dan lainnya.
“Sehingga ini adalah sebuah trend yang up and coming yang akan berkembang di masa depan tapi kita sudah mempersiapkan komunitas yang sudah siap menjembati perkembangan itu dengan mental health yang siap sehingga kita memberikan dampak positif kepada masyarakat dan komunitas yang ikut dalam gerakan ini,” pungkasnya.
Sagealina, salah satu influencer dari Amerika Serikat (AS) yang menjadi peserta Bali NFT Week ini mengaku terkesan bisa ikut event ini dan juga mengunjungi Samsara Living Museum. Baginya Bali NFT Week ini dan pengalaman yang didapatkan di Samsara Living Museum adalah bagian proses memberikan energi kreatif dengan mereset atau menyetel ulang pikiran, tubuh dan jiwa dari pesertanya. dalam dirinya.
“Saya merasa sangat terhormat dan beruntung bisa merasakan pengalaman Bali yang otentik di Samsara Living Museum. Tujuan saya ke Bali tidak hanya sebagai influencer mengunjungi destinasi wisata di Bali tapi ingin merasakan budaya dan heritage yang ada di Bali,” ungkapnya.
Di sisi lain Sagealina mengaku mental health awareness adalah topik yang menjadi perhatian penting dan prioritas di komunitas Web 3 dimana semua orang yang terlibat di Web 3 harus mampu merasa lebih baik dari dalam diri. Cara untuk meningkatkan mental health awareness berbabis kearifan lokal dan budaya Bali inilah yang mereka dapat temukan di Samsara Living Museum yang tentu menjadi pengalaman mengesankan yang tidak bisa didapatkan di tempat lainnya.
Dia melihat ada pengetahuan khusus di Bali mengenai pemulihan jiwa, menemukan kedamaian diri. Masyarakat Bali punya kekuatan healing atau menyembuhkan yang berakar dari kearifan lokal dan budaya yang adiluhung.
“Saya melihat orang Bali penuh energi dan mereka punya cara alami untuk menyembuhkan diri yang orang dunia banyak tidak tahu,” ujar Sagealina yang juga singer dan song writer ini.
Dia pun mengaku dapat belajar banyak hal dari Samsara Living Musuem seperti ada banyak cara atau metode pengobatan dengan sumber yang beragam yang sudah mengakar kuat sebagai bagian warisan leluhur orang Bali, lalu belajar menyembuhkan diri dan mencintai diri.
“Saya sangat mengapresiasi orang Bali. Saya ingin kembali ke Bali lagi dengan kebanggaan yang baru dan ingin merasakan banyak hal yang belum saya dapatkan,” ujarnya penuh semangat.
Founder Samsara Living Museum Ida Bagus Agung mengungkapkan, sejak awal komitmen Samsara Living Museum ini adalah untuk bagaimana proses pengenalan, pemahaman, dan pemajuan kebudayaan yang berbasis pada masyarakat bisa relevan dengan perkembangan zaman. Pihaknya meyakini cara paling tepat melestarikan budaya adalah dengan mengawinkannya dengan perkembangan zaman.
“Sehingga yang kita lakukan di Samsara ini, nilai-nilai yang cenderung mungkin filosofis dan abstrak kita konkretkan, kita hubungkan dengan kehidupan hari ini. Kita ingin membuat masyarakat punya sugesti bahwa apapun itu sesuatu yang semakin dilestarikan akan semakin mensejahterakan,” tutur tokoh Bali yang akrab disapa Gus Agung ini.
“Nah aktivitas di Samsara sebenarnya adalah mengawinkan itu bagaimana kemudian masyarakat dengan berbagai kegiatan yang sangat original ini tidak bergeser tetapi justru malah bisa diapresiasi oleh khalayak umum khususnya masyarakat global yang justru ikut tren kita. Jadi tidak lagi kita menjadi followers kita ingin menjadi trend center di mana justru akhirnya budaya kita dari masyarakat Bali yang sangat otentik sangat menarik ini digandrungi,” papar Gus Agung.
Karena menurutnya, orang-orang ingin datang ke Bali pasti mencari sesuatu yang asli sesuatu yang benar-benar mereka tidak pernah dilihat dan tidak pernah dirasakan atau dilakukan di tempat lain. “Nah di Samsara Living Museum secara spesifik yang kita mau perkenalkan kepada peserta Bali NFT Week adalah tentang wellness jadi Balinese Traditional Wellness untuk mengenal Bali lebih dalam,” ungkap pria yang juga merupakan National President JCI (Junior Chamber International) Indonesia tahun 2015 dan Direktur Pemasaran ICCN (Indonesia Creative Cities Network) ini.
Dia menambahkan, di Bali sendiri punya akar, dasar literasi, narasi wellness dan masih dilakukan sampai hari ini. “Katakanlah misalnya tentang terapi ada uut, tutuh, simboh, loloh, itu kan dipakai di dalam wellness modern. Sehingga menurut saya Bali ini juga tidak boleh justru menjadi tamu di rumah sendiri. Kita punya akar yang kuat, punya mentor yang bagus yang banyak, terus juga kita masih melakukannya sebagai living culture. Nah ini harus jadi kekuatan tradisional dari apa yang ditampilkan atau dihadirkan di Samsara Living Museum,” jelasnya.
Wellness yang ditampilkan kepada peserta Bali NFT Week ini ada lima tahap. Pertama, meditasi atau dalam istilah Balinya tirta yatra. Kedua, purification atau melukat atau dalam bahasa modernnya five sense treatmen atau treatmen terhadap panca indra.
“Ketiga, refleksi, konsultasi terhadap keberadaaan diri kita berdasarkan kelahiran atau yang dikenal dengan istilah pratiti di Bali dimana kita bisa tahu kekuatan kelemahan kita apa, peluang kita bagaiman dan seterusnya. Dari sana akan diketahui terapi herbalnya seperti apa,” terang Gus Agung. Pada tahap ketiga ini para peserta diajak memahami aspek kelahiran mereka dimana tentu ini menjadi pengalaman yang benar-benar baru bagi mereka.
Tahap keempat, therapy and herbal yang yang menjadi semacam rekomendasi produk wellness tradiosional Bali untuk melengkapi proses retreat peserta dan juga dikaitkan dengan aspek kelahiran mereka. Misalnya lolohnya apa yang cocok sesuai dengan kelahiran tertent, apakah kunyit asem, beras kencur dan sebagainya. Terakhir, ada exercise, dimana peserta belajar menari, mejejaitan dan bermain musik tradisional.
“Dengan semua itu kita sebenarnya mau menyampaikan kalau di Bali yoga itu sudah melekat dalam keseharian. Jadi leluhur kita sudah luar biasa smart mengawinkan semua unsur yang dibutuhkan manusia sebagai esensi kehidupan sudah dilekatkan dalam keseharian, tidak perlu ke lokasi tertentu. Kita menari itu yoga, bermain music dan membuat sesajen itu yoga,” pungkas Gus Agung.
Samsara Living Museum atau Museum Kehidupan Samsara adalah salah satu dari pengejawantahan Museum Kehidupan Karangasem yang mengangkat tema tentang siklus hidup manusia Bali, merekonstruksi rangkaian siklus kelahiran manusia Bali. Di mana semua dibingkai dalam ritual, sarana upakara. Dan pemaknaan di balik simbol-simbol tersebut menjadi informasi praktis yang dapat memperkaya pengalaman. (wid)
Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.